Extra Part [Rakha]

151 43 9
                                    

Note: bahasa tidak terlalu baku, karena Berry menyesuaikan kepribadian karakter.

Happy reading, and hope u enjoy!

***

RAKHA POV

Rencananya setelah mengambil handphone milik istri tercinta gue di tukang servis mau langsung pulang. Pengin cepat-cepat jumpa Liana.

Heran, baru juga ditinggal sebentar, bisa-bisanya gue udah kangen aja sama, tuh, istri kecil gue. Tapi gue tiba-tiba teringat kalau Liana tadi menitipkan sesuatu untuk dibeli di Indomaret.

Berhubung Liana tadi nggak menyebutkan barang apa yang mau dibeli, jadi sebelum masuk ke Indomaret gue nangkring dulu di atas motor king hitam kebanggan gue sambil mengetikkan beberapa pertanyaan di handphone Liana.

Iya, handphone milik Liana. Punya gue ditinggal di rumah. Singkatnya kami tukaran handphone.

Masih terfokus chating-an sama Liana, samar-samar pendengaran gue mendengar suara anak gadis yang sedang berbisik-bisik sesuatu di samping posisi gue.

Nggak gue hiraukan, meski itu agak mengganggu. Namun, makin diemin, kok, suara mereka semakin mendekat. Seakan mereka deketin gue. Penasaran, gue curi pandang dari sudut mata, melihat apa yang sebenarnya mereka lakukan.

Ternyata dua anak gadis—yang dapat gue perkirakan mereka anak kuliahan—posisinya tepat satu langkah di samping gue. Dua anak gadis itu dorong-dorongan, seolah ingin menyampaikan sesuatu ke gue tapi nggak ada yang mau mengalah.

Daripada menganggu, langsung aja gue tanyain, “Ada apa?” Dengan mata yang masih terfokus ke handphone.

Enh—anu, Mas.” Akhirnya salah satu ada yang buka suara, tapi agak dijeda seperti sedang menimbang kalimat yang akan dikatakan selanjutnya. “Boleh minta nomor WhatsApp-nya?”

Ah ... jadi ini toh penyebab mereka dorong-dorongan tadi.

Gue sengaja menoleh secara perlahan dengan kedua alis yang terangkat, supaya bisa menambahkan karisma ketampanan. Biasanya, sih, kalau Liana lihat gue begini pasti bakal terpesona. Ternyata meskipun penampilan gue kayak gembel; cuma pakai bokser abu-abu dan kemeja putih, ada juga rupanya yang tertarik.

Kedua mata ini sengaja menilik penampilan anak gadis yang nanya tadi mulai dari wajah sampai ujung kaki seolah menunjukkan kalau gue sedang menilai penampilan dia layaknya om-om mesum. Sudut bibir gue entah kenapa tiba-tiba tertarik ketika satu ide keisengan terlintas di pikiran. “Boleh juga.” Mulut gue sengaja nyeplos begitu, tentu hal itu membuat kedua mahasiswa mengulum senyuman mereka malu-malu.

Kalau aja mereka tahu gue udah punya istri, kicep kali, ya.

Maksud omongan gue tadi, boleh juga dikerjain. Bukan perihal body-nya. Ya ... meskipun body anak cewek yang minta nomor tadi, enh—montok.

Eh, tapi gue masih ingat istri di rumah, ya. Badan Liana juga bagus, kok, apalagi semenjak dia hamil. Makin-makin berisi aja.

Tanpa basa-basi lagi, langsung aja gue sebut nomor WhatsApp, “08123456789.” Sementara dia mengetikkan nomor yang gue sebut di ponselnya.

“Nama, Masnya?” tanyanya dengan wajah bersemu.

“Buat aja Mas Ganteng,” jawab gue sambil mengedipkan satu mata yang membuat mereka jingkrak-jingkrak heboh, astaga.

Setelah itu gue masuk ke Indomaret meninggalkan anak gadis orang menggila.

***

“Mas, ini apaan maksudnya?” Liana yang sedang membongkar plastik hasil belanjaan gue tadi di atas meja makan menyodorkan kotak—warna merah dengan merek Sutra yang terpampang jelas di sisi atas kotak itu—dengan tampang menuntut jawaban.

Takdir Yang Tertulis [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang