4. Dua Lelaki di Sekitar (revisi)

600 155 191
                                    

Mulmed: Ricky Prasmana

Happy reading, and hope u enjoy!

***

     JAM istirahat pun akhirnya tiba. Waktu yang paling siswa dan siswi tunggu-tunggu untuk mengisi perut mereka yang sudah keroncongan, ada juga yang sudah berlarian ke sana-kemari bermain dengan teman layaknya anak remaja, dan ada beberapa siswi yang memilih untuk berdiam di kelas dan memakan bekal yang telah mereka bawa dari rumah. Salah satu dari siswi yang berdiam di kelas, tak lain dan tak bukan adalah Liana dan Nia.

Ah, ralat. Liana saja, Nia berbeda lagi, karena yang dia lakukan adalah menumpang dibawakan bekal dari rumah Liana. Sudah menjadi kegiatan rutin bagi Liana untuk membawa dua bekal ke sekolah. Yang satu untuk dirinya sendiri, sementara yang satunya lagi untuk sahabatnya.

Nia terlampau malas sekali jika harus disuruh bawa hal-hal berbau layaknya anak teladan. Bahkan membawa sebotol minum saja ia enggan. Padahal bundanya itu sudah memperingati dirinya untuk tidak terus merepotkan Liana, tapi Nia yang memiliki otak bebal tetap saja dia melanggar peringatan sang bunda.

Sesungguhnya untuk Liana pribadi tidak terlalu masalah dengan perkara bekal untuk sahabatnya. Justru dirinya sendirilah yang menawarkan dengan sukarela karena tidak mau melihat Nia memakan makanan tidak sehat di kantin. Ya, dia tahu, di setiap sekolah pasti selalu diperiksa kesterilan makanan, namun tetap saja. Liana lebih baik memilih makanan yang dibuatkan oleh orang rumah.

Mereka sudah kelas 11, tapi tidak ada salahnya kan membawa bekal ke sekolah bak anak TK?

Malu? Tidak, Liana tak ada sedikit pun rasa malu di dirinya—meski ada beberapa temannya yang menggunjing seperti bocil anak mami—tapi demi kesehatan Liana tak harus ada kata malu di kamus hidupnya.

Liana mengeluarkan semua makanan yang sudah dia bawa sedari rumah ke atas meja, dan menyorong bekal bagian milik Nia ke depan meja gadis itu.

“Bunda masak apa hari ini?” tanya Nia semringah sembari membuka tutup bekal. Panggilan 'Bunda' adalah sebutan dirinya kepada mamah Liana. Karena sudah terbiasa memanggil mamah Liana bunda, sekaligus dirinya yang sudah menganggap mamah Liana seperti bundanya sendiri.

“Masakan kesukaan kamu, tuh,” sahut Liana setelah menyegarkan tenggorokannya dengan air putih.

“Wah ... daebak! Kayaknya mulai besok namaku ada di KK lu, nih, Ana.” Nia berseru lantang yang membuat beberapa siswa dan siswi di kelas mengalihkan pandangan ke arahnya dengan tatapan aneh.

“Boleh, tuh, biar aku jadi punya saudara,” balas Liana yang mulai melahap makanannya. Namun masih di ujung bibir sendoknya mendarat, atensi kedua gadis itu teralih pada sosok pria yang tak ada hentinya akan terus mendekati Liana. Ricky Prasmana, mendatangi meja Liana dan Nia dengan tangan yang membawa kotak kado bersampul pink dengan corak yang dipenuhi kelinci putih tanpa dibungkus dengan paperback.

Astaga! Bagaimana bisa dia menenteng itu sampai kemari? Pasti dari kelasnya sampai sini lelaki itu telah membuat banyak perhatian yang terpaku padanya.

“Liana, nih, kado ultah buat lu.” Pemuda itu memberikan kado tepat di depan wajah Liana yang spontan memandangi kotak itu dengan ekspresi dungu.

“Oh, i-iya. Makasih, ya, Bang Rick.” Dengan tidak enak hati Liana menerimanya dan langsung ia simpan di laci meja—yang syukurnya muat dengan ukuran kotak kado yang lumayan besar.

Sementara Nia yang masih terfokus dengan makanannya, dia diam-diam melirik Ricky yang kini mulai kebingungan dengan apa yang harus lelaki itu lakukan selanjutnya. Si kaku, goblok pisaaan. Kan bisa dia ajakin makan kek, atau apa gitu. Lah, ini ngapain coba diem ae di tempat, gerutu Nia mengatai Ricky dalam hati.

Takdir Yang Tertulis [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang