Happy reading, and hope u enjoy!
***
“NIA? Tumben pagi-pagi gini udah datang,” gumamnya. Liana turun dari ranjang sambil menggendong Rakha, kemudian kelinci itu ia taruh di dalam kandangnya. “Kamu aku kurung dulu, ya. Oh, ya, kamu jangan sampai bersuara, nanti Nia bisa curiga,” pesan gadis itu setelah mengunci kandang Rakha.
Liana hanya membuka pintu sedikit. Kepalanya melongok dan memandangi seorang gadis yang lebih tinggi dari Liana dengan rambut kecokelatan yang lumayan panjang. Gadis itu memamerkan gigi rapinya, lalu setelahnya ia menyodorkan satu buket bunga mawar merah dan yang satunya lagi buket cokelat.
Liana hanya memandangi kedua buket itu datar. “Dari siapa, tuh?”
“Izinin gue masuk dulu kek, masa iya lu nyuruh gue berdiri di depan pintu gini aja,” cetus Nia, ekspresinya pun turut jengkel.
“Oh, iya.” Liana membuka lebar pintu kamarnya dan langsung saja Nia menyerobot masuk, lalu ia mengamburkan tubuhnya ke pulau empuk-ranjang-setelahnya menaruh dua buket itu terlebih dahulu di atas meja belajar Liana.
“Tumben banget kamu datang pagi-pagi. Ada apa?” tanya Liana, ia mendudukkan bokongnya di kursi belajar. Meraih buket cokelat dan membuka kartu ucapan yang terselip di buket itu.
“Gara-gara Niko-lah. Dia tadi datang ke rumah gue buat ngantar, tuh, buket. Dia nyuruh gue ngasih buket itu ke elu. Lah, ya, gue bilang dong, 'Kok nggak lu aja yang nganter langsung, Samsul?' dan lu tahu jawaban dia apa?” Liana mengedikkan bahu tak acuh. Pandangannya terfokus pada kartu ucapan. “ 'Gue mau bercinta dulu sama gunung-gunung gue.' kan, anjir, banget.”
Mendengar kata-kata vulgar membuat Liana refleks menatap tajam sahabatnya. “Di-filter dikit kek. Kalau ada yang dengar gimana?” protes Liana.
“Sorry, gue cuma peragakin aja apa yang dibilang sepupu gue. Lagian lu juga tahu kan maksudnya dia apa?”
“Tahu, naik gunung maksudnya, 'kan?”
“Yoi, hobi dia emang aneh. Gunung kok dinaiki, gunung itu seharusnya dinikmati.”
Liana melototkan matanya yang membuat Nia langsung meralat ucapannya, “Dinikmati keindahannya maksudnya, hehehe.”
“Udah, ya, jangan bahas yang kotor lagi. Telingaku jadi terdonai, nih, pagi-pagi,” ketus Liana memperingati. Meletakkan kartu ucapan yang baru ia baca, lalu beralih mengambil kartu ucapan yang terselip di buket bunga mawar. Sambil membaca kartu itu dalam hati, mulut Liana bersuara, “Yang buket cokelat dari bang Ricky. Dia ngantarnya pagi-pagi juga?”
“Iya, tadi dia bilang lagi ada acara keluarga jadi nggak bisa ngasih langsung ke elu. Katanya juga itu cuma hadiah permintaan maafnya karena semalam nggak bisa datang ke pesta ultah lu. Untuk kado ultah, besok mau dikasih dia sendiri katanya,” jelas Nia menyampaikan pesan dari Ricky Prasmana—tetangganya, sekaligus kakak kelas di sekolah mereka—yang menyukai Liana.
Namun, hanya saja pria itu tidak memiliki nyali untuk mengungkapkan perasaannya pada Liana. Sejujurnya Nia juga bingung harus memihak siapa. Sepupunya-Niko Aditiawan-yang juga menyukai sahabatnya, atau Ricky tetangga menyebalkannya. Ya, memang Ricky kelewatan sekali sifat ngeselinnya terhadap Nia, tapi meskipun begitu ia juga kasihan pada lelaki itu karena sudah memendam perasaan selama dua tahun belakang.
Untuk Liana, sebenarnya dia juga cukup peka. Tetapi sayangnya ia tidak memiliki perasaan pada dua orang lelaki itu. Jadi, dia lebih baik berpura-pura tidak tahu bahwa Ricky dan Niko menyukainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Yang Tertulis [End]
Teen Fiction[Follow sebelum membaca, tidak akan membuatmu berubah menjadi Iron Man] Bagaimana reaksi kamu ketika ada seorang pria asing yang membangunkanmu di kamar milikmu sendiri? Kaget? Takut? Pastinya. Baik, mari kita naik level. Apa yang akan kamu lakukan...