54. Luka dan Obat

159 48 7
                                    

Happy reading, and hope u enjoy!

***

    SEUSAI kondisi Rakha yang mulai membaik. Liana masih setia duduk di sebelah Rakha dan memandang penuh arti pria itu dalam diam. Mulutnya masih tidak berani untuk bertanya mengenai kejadian ini. Biarlah saja lelaki itu yang akan menjelaskannya nanti padanya.

Rakha menoleh ke arah Liana sehingga membuat netra mereka saling beradu sendu. Selaput mata yang seharusnya putih kini berubah memerah. Menyiratkan betapa kuatnya lelaki itu untuk menahan tangis yang hendak keluar. “Kamu ada cadangan pakaian dalam sama baju nggak?” Akhirnya sebuah kalimat terlontar juga dari mulut Rakha.

Liana diam untuk berpikir sebentar. Kemudian sebuah lemari di gudang yang sengaja diisi untuk pakaian-pakaian dalam milik ayah dan mamah berserta dirinya untuk cadangan, seketika terlintas di kepalanya.

Liana beranjak dari tempatnya dan langsung menuju gudang mengambil sekotak celana dalam baru milik ayahnya, dan ternyata di saat ia membuka bilik pintu lemari lain, ada juga kaos dan celana training yang sudah tidak dipakai sang ayah lagi.

Tidak heran, ayahnya itu memang selalu menyimpan kembali barang-barang yang tidak digunakan lagi sebagai bentuk kenangan. Kemeja yang sudah robek-robek saja masih terlipat rapi di lemari itu.

Ayahnya pernah berkata suatu hal yang menohok saat mamahnya protes karena barang-barang yang tidak berguna lagi akan membuat semak. Seperti ini sekiranya, “Semua barang itu sengaja ayah simpan untuk dijadikan kenangan. Ayah cuma mau mengingat bahwa dulu ayah pernah berada di posisi terendah sampai tidak mampu untuk membeli kemeja baru. Ayah cuma tak mau lupa untuk selalu bersyukur. Ketika ayah merasa lelah di suatu kondisi, ayah mengingat itu dan secara kontan kembali semangat lagi. Jadi semua itu bukan sekadar barang sampah yang tidak bisa digunakan, tapi barang yang meninggalkan kenangan yang akan membuat kita tersadar bagaimana keadaan kita di masa lalu.”

Liana tersenyum hangat mengingat kenangan itu terputar kembali di memorinya. Di saat sang ayah berkata seperti itu membuat hatinya seketika menghangat dan terharu. Liana mengakui, satu benda atau gambar yang kita kenakan maupun dapatkan di masa lalu akan menjadi simbol yang menggambarkan bagaimana suasana hati kita pada saat itu, apa yang dilalui, dan apa yang kita dapatkan.

Baik buruknya kenangan bagaikan potret candid yang tertangkap kamera. Mungkin saja di potretan pertama kita mendapatkan angel yang bagus, kemudian ketika di potretan kedua kamera malah mendapatkan wajah kita yang sedang berpose aneh. Namun yakinlah, seandainya kita menghargai itu, pasti kita akan menyimpannya dan akan dijadikan kenangan untuk dilihat kembali di masa depan.

Liana cepat-cepat menutup lemari, kemudian dia lari terbirit-birit sebelum mamahnya akan memergokinya yang mengambil celana dalam milik ayah. Kalau sampai ketahuan, bisa berabe entar urusannya.

Setibanya di kamar, gadis itu langsung memberikan pakaian lengkap kepada Rakha yang masih setia pada posisi awal. “Mas pakai di kamar mandi aja.” Semoga CD-nya nggak kedodoran, harap Liana dalam hati.

Dengan lesu, Rakha berjalan ke kamar mandi—masih dengan tubuh yang terlilit selimut.

Liana duduk di tepi ranjang menunggu lelaki itu keluar sambil tenggelam dengan pikirannya yang sibuk bertanya-tanya.

Entah pikiran macam apa yang mengambang di kepalanya. Demi Tuhan ... dia penasaran sekali dengan apa yang terjadi pada lelaki itu. Rahasia apa yang disembunyikan mas Rakha? Dan kenapa pula datang-datang semua benda miliknya menghilang gitu aja?

Liana berpikir dalam, tapi bagaimanapun dia mengorek semua kemungkinan yang terjadi, tetap saja dia tidak menemukan jawaban karena tak ada satu pun clue yang dapat membantunya. Sepertinya semua kejadian ini harus Rakha yang menceritakan langsung padanya.

Takdir Yang Tertulis [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang