43. Hari ke-96 (terombang-ambing)

186 47 0
                                    

Happy reading, and hope u enjoy!

***

      “AYAH, kayaknya dugaan ayah benar, deh.” Rakha berujar sambil meletakkan secangkir teh hijaunya di atas meja.

Kedua siku yang bertumpu pada pegangan kursi, Andrean menautkan antara jemarinya. Menatap lempeng putranya yang duduk tepat berhadapan dengannya. “Hal apa yang pada akhirnya membuat kamu berpikir kalau Liana diculik dari pihak dunia kita?”

“Rakha pikir, tempat terakhir Liana terlihat itu aneh, Yah. Kalau memang dugaan ayah benar, sekarang kita harus terfokuskan pada siapa yang menculik Liana di dunia kita, bukan di dunia Liana lagi. Menurut ayah, siapa pelakunya? Kira-kira kita punya musuh nggak?”

Andrean berkedip dua kali. Layaknya sedang berpikir. “Musuh, ya ...? Ayah nggak begitu yakin, sih. Tapi kakek kamu tahu segalanya tentang permasalahan leluhur kita. Kalau kamu memang penasaran, besok kunjungi saja rumah kakek,” titah Andrean.

“Tapi ... bukannya ayah waktu itu pernah bilang kalau mau ke rumah kakek, ya?” tanya Rakha, sebab seingatnya kalau sang ayah pernah mengatakan bahwa ia ingin datang ke rumah kakek. Tapi kenapa kali ini justru ia yang disuruh ke sana? begitu pikirnya.

“Ah, iya. Ayah terlalu sibuk dengan pekerjaan, jadi lupa mau ke sana. Tapi ayah pikir lebih baik kamu yang ke rumah kakek biar tahu sendiri dan lebih jelas.” Andrean memberi saran.

Rakha mengangguk sambil mengambil kembali cangkir teh miliknya, lalu menyeruputnya sedikit. Sembari menyesap tehnya, Rakha berpikir dalam diam, ingin rasanya ia segera datang saat itu juga kalau tidak mengingat hari sudah larut malam.

***

Siang menjelang sore Rakha memutuskan untuk mengunjungi rumah kakeknya.

Sesampainya di depan pagar sebuah rumah minimalis bernuansa klasik, serta halaman luas yang dipenuhi pepohonan rindang menciptakan rasa segar di indra penciuman.

Sebelum jari telunjuk memencet bel, Rakha menyapu seluruh pandangannya terlebih dahulu ke sekitar.

Tidak ada siapa pun. Hanya suara jangkrik beserta serangga lainnya yang menyapa.

Wajar saja, kakek memilih untuk hidup sendirian dan selalu mengatakan, 'Tidak ingin mengganggu kehidupan orang muda' ketika salah satu pihak keluarga menawarkan bantuan untuk merawat dirinya.

Sudah berulang kali anak beserta menantunya mengajukan diri untuk mengurusnya, tetapi tetap saja jawabannya selalu sama. Pada akhirnya ia memerintahkan yang lainnya untuk sering-sering berkunjung sekadar memastikan bahwa dirinya belum menjadi bangkai di sana.

Namun, walaupun begitu para anaknya tidak membiarkan sang ayah melakukan ini itu serba sendiri, jadi mereka mengirimkan sebagian ART-nya untuk mengurus beliau.

Jari Rakha bergerak menekan tombol di bibir pagar. Sedetik kemudian, sebuah kamera monitoring memunculkan sesosok wanita separuh baya.

“Oh, cucu tuan.” Wanita itu terlihat bersemangat. Sementara Rakha menanggapi dengan senyuman.

Tak ingin membuat tamu tuannya menunggu lama, wanita itu berlari tergesa-gesa. Membukakan pagar segera. Lalu memandu Rakha untuk masuk.

“Tuan sedang berada di kamarnya. Tuan muda silakan duduk sebentar biar saya panggilkan tuan kemari.”

“Iya, Bu.” Rakha mengangguk. Tidak melakukan yang telah diarahkan oleh sang ART, Rakha justru berjalan menghampiri lemari kaca hias yang dalamnya berjajaran beberapa artefak kuno.

Jemarinya beringsut menyentuh permukaan kaca kala sebuah patung kecil berbentuk kelinci menarik perhatiannya.

Sejak kapan patung itu berada di sana? Seingatnya selama ia berkunjung, benda itu belum ada, atau mungkin sudah ada, tapi karena dirinya yang terlalu sibuk dengan dunianya sendiri membuatnya tidak memperhatikan sekitar? Mungkin saja begitu.

Takdir Yang Tertulis [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang