2. Bukan Mimpi (revisi)

779 177 321
                                    

Happy Reading!

***

     MENDENGAR pernyataan lelaki itu membuat Liana tertawa garing sambil menampar pelan kedua pipinya. “Aha-ha-ha-ha, pasti aku masih di dunia mimpi, deh.” Gadis itu terus menampar kedua pipinya seperti orang gila yang menyalahkan diri, dan ditamparan yang terakhir gadis itu menguatkan pukulannya hingga pada akhirnya ia memekik sakit serta kaget. “Awh! Tapi kok sakit, sih?”

Melihat tingkah lucu Liana membuat Rakha tanpa sadar menaikkan kedua sudut bibirnya hingga melengkung seperti bulan sabit, tak lupa kelopak matanya yang lebar terikut tertarik dan melengkung indah. “Lu lucu juga, ya, anaknya,” ceplos Rakha yang membuat Liana memiringkan kepalanya bingung. “Maksud gue abnormal,” ralatnya.

“Dih, apaan, sih.” Mata Liana melotot tidak terima dikatakan tidak normal. Memangnya dia tahu apa tentang dirinya? Uh, nyebelin. Pagi-pagi udah ada orang aneh aja yang ganggu, batinnya kesal. “Oh, ya. Apa yang kamu bilang tadi pasti kamu cuma ngasal ngomong aja, 'kan?” tudingnya.

Gadis itu mendekatkan kedua tangannya yang tertangkup di dekat mulutnya, kemudian ia bergumam pelan, “Nggak mungkin ancaman mamah mau jodohin aku sama anak temannya beneran terjadi, pasti ini cuma akal-akalan maling amatir karena ketahuan samaku, terus biar dia bisa dilepas dengan mudahnya, jadi alasannya begitu. Kalau dia beneran maling, itu berarti dia orang yang berbahaya dong.” Apa aku pura-pura iyain aja kali, ya, biar dia bisa pergi dan aku juga nggak disakiti dia, lanjutnya dalam hati.

Rakha mendengus geli mendengar asumsi gila yang diciptakan gadis itu. “Hh, tuh kan, aneh. Kalau gue maling amatir seperti yang lu pikir, ngapain juga gue bangunin lu, terus gue ngenalin diri? Sementara tadi posisinya lu masih tidur, kalau gitu mah mending gue kabur duluan sebelum lu bangun,” ungkap Rakha. Ingin sekali rasanya ia memecahkan tawanya, jika tidak ingat kalau ia berisik mungkin supir dan penjaga rumah ini akan menghampiri kamar Liana.

“Ya, bisa aja kan, kamu tadi nggak sengaja pengin pegang-pegang aku, terus akunya malah kebangun duluan, dan jadilah kamu beralasan kalau kamu itu calon suami aku,” ujar Liana masih bersikukuh membenarkan hipotesisnya yang jelas-jelas tidak masuk akal. “Okelah kalau seandainya kamu memang calon suami aku, tapi kamu gimana caranya bisa masuk ke kamarku? Sementara pintunya aku kunci dari dalam,” pungkasnya akhirnya.

Rakha mengalihkan pandangannya ke arah kandang kelinci yang diberikan oleh lelaki ber-hoodie semalam—yang sesungguhnya adalah abangnya sendiri. Sebelum menjelaskan Rakha menghela napas pelan. “Gue tahu ini emang terdengar gila. Tapi gue tetap bakal jelasin ini biar lu nggak salah paham.” Pria itu menjeda lama, berpikir dua kali apakah memberitahu kebenaran tentang dirinya harus dikatakan sekarang atau dia tunda.

Namun, perkataan ayahnya tempo hari untuk langsung jujur dengan gadis itu mengingatkannya, lantas dia melanjutkan ucapannya yang menggantung tadi. “Sebenarnya kelinci yang dikasih lelaki misterius itu adalah gue,” ungkapnya akhirnya yang mendapatkan respon mata terbelalak kaget dari gadis itu. Rakha memaklumi itu.

Lantaran melihat reaksi Liana yang masih bungkam, Rakha melanjutkan ucapannya, “Sebelum gue jelasin lebih rinci, gue mau buktikan dulu sama lu kalau omongan gue bukanlah sekadar cerita belaka.” Rakha melihat air muka Liana, gadis itu masih saja terdiam dan terlihat seperti termenung.

Lantas ia melambaikan tangan di depan wajah Liana guna mengetahui apakah dugaannya kalau gadis itu melamun benar atau salah. Gadis itu mengedipkan mata sekali dan menatap seperti mempertanyakan apa yang dilakukan pria itu.  “Ah, gue kira lu kerasukan.”

Takdir Yang Tertulis [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang