Extra Part [Liana]

123 43 3
                                    

Sebelum membaca, beri dukungan pada Berry berupa vote dan komen, ya! Aku yakin, kalian tahu cara menghargai sebuah karya dan perasaan sang penulis^^

Happy reading, and hope u enjoy!

***

LIANA POV

Aku tahu, melupakan sesuatu hal yang baru saja pergi dari kehidupan kita pasti akan terasa amat sulit. Kehilangan butuh ekstra keikhlasan. Harus mampu menahan rindu yang sangat menyayat hati. Apalagi, tidak ada yang tersisa untuk dijadikan bahan kenangan. Semuanya bergantung pada ingatan memori yang mengganggu pikiran.

Selepas pernikahan kami terlaksana, mas Rakha yang aku lihat dari luar tampak baik-baik saja, ternyata tanpa sepengetahuanku dia terkadang menangis tersedu-sedu lantaran isi kepalanya yang masih saja dihantui oleh kenangan keluarganya.

Di balik tawa dan senyum yang ia tunjukkan, ada kesedihan dan kerinduan yang ia sembunyikan.

Entah apa alasannya beliau tak ingin mencurahkan perasaan sedih dan rindunya padaku. Namun, yang aku tahu. Pasti mas Rakha akan berdiam diri satu harian ketika kenangan itu kembali mengganggu pikirannya.

Pernah sekali kutanyakan apa penyebab dia menyembunyikan kesedihannya. Sayangnya, mas Rakha hanya memberikan senyuman khasnya—yaitu senyuman bak bulan sabit—seakan menghipnotisku untuk tidak membahas topik itu lagi.

Sungguh, aku sangat penasaran. Sebagai istrinya, aku juga memiliki peran penting untuk jadi pundak yang kokoh ketika dia butuh sandaran, tapi jika dia tetap saja bungkam. Apa yang bisa kulakukan?

Seperti saat ini. Samar-samar pendengaranku menangkap suara isakan dari dalam kamar mandi yang sedikit teredam dengan percikan air. Sudah hampir satu jam mas Rakha berada di dalam, dan ini sangat membuatku jadi cemas.

Tangan kanan ini kugunakan untuk mengetuk pintu. Sedikit ragu. Lantaran takut membuat mas Rakha malu karena ternyata aku mengetahui keterpurukannya.

“Mas Rakha, sarapan dulu, yuk ... aku udah selesai masak,” ungkapku dengan tangan yang masih terus mengetuk pintu. Namun, tidak ada jawaban. Malah aku tak lagi mendengar suara tangis mas Rakha.

“Mas ... jangan terlalu lama, ya, mandinya. Takutnya nanti mas masuk angin.” Sengaja aku berkata itu karena tak ingin mengganggunya. Mungkin mas Rakha kini benar-benar butuh kesendirian untuk menenangkan pikirannya yang kalut.

Kaki pendekku melangkah pelan ke arah ranjang. Tangan kananku menyangga bawah perut yang sudah lumayan membesar.

Ya ... aku tengah mengandung anaknya mas Rakha. Beruntungnya, kehamilanku setelah beberapa Minggu tamat SMA. Jadi tak perlu repot menahan malu karena hamil di masa sekolah.

Yeah, sebenarnya tak perlu malu juga. Toh aku sudah menikah. Mungkin akan lebih repot ke masa belajar, sih. Pasti jika pihak sekolah tahu aku sedang mengandung anak, diriku tentu akan ditendang secara estetik dengan mereka dan aku pun terpaksa harus melanjutkan pendidikan dengan sistem homeschooling.

Ini semua salahku, tak seharusnya aku menuruti perintah sesat Nia yang menyuruhku memakai pakaian haram yang dia berikan. Padahal sebelum-sebelumnya mas Rakha menepati janjinya yang katanya bisa menahan puasa.

Namun anehnya, entah kenapa itu membuatku merasa kesal. Jadi kucurahkan perasaan kesalku pada Nia, dan jadilah dia menyuruhku mengenakan pakaian haram yang dia beli di online shop. Dan, malam itu pun terjadi.

Astaga, ternyata benar kata mas Rakha. Mungkin dia akan bisa menahan puasa jika bukan aku yang mulai memancingnya.

Tapi tetap saja aku harus bersyukur, karena ini juga pemberian Tuhan. Tidak mungkin 'kan aku menolaknya?

Takdir Yang Tertulis [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang