27. Manisnya Kamu, Mas!

230 49 5
                                    

Happy reading, and hope u enjoy!

***

     SUARA kicauan burung yang bertengger di ranting pohon terdengar sangat indah melaung di telinga seorang gadis yang masih terlelap dalam mimpinya.

Tepat saat tubuhnya bangkit dari tidurnya-weker berbentuk kelinci putih itu berdering. Yah, kali ini wekernya itu terlambat bangun beberapa detik dari sang pemilik. Malas-malasan gadis itu menoleh, lalu setelahnya ia matikan dengan mulut menguap lebar.

Kemudian bangun dan melakukan aktivitas pagi yang membosankan dengan rasa malas. Entahlah, rasanya hari ini dia enggan sekali untuk pergi ke sekolah. Mungkin, karena dirinya yang terlalu memaksakan diri untuk mempersiapkan bekal ujiannya nanti.

“Aku pengin liburan ...,” racau gadis itu sebelum memasuki kamar mandi. Ah, sepertinya dia sangat frustrasi karena ujian sialannya itu.

.
.

“Mah, Liana pergi duluan, ya.” Gadis itu mencium pipi Diana secara bergantian, kemudian melenggang pergi dengan tergopoh-gopoh.

Apesnya karena dirinya yang terlalu malas untuk bersiap-siap, pada akhirnya dia membuang-buang waktu. Dan, ah! Lima belas menit lagi bel sekolahnya itu akan berdering.

Liana bingung! Bingung bagaimana bisa dia sampai sekolahnya dengan waktu sesingkat itu, karena dari rumahnya menuju sekolah membutuhkan waktu dua puluh menit. Oh, no!

Gadis itu berlari menuju mobil yang telah disiapkan oleh pak Rino yang akan mengantarkannya ke sekolah. Namun, baru saja dia hendak masuk ke mobil samar-samar Liana mendengar ada yang memanggil namanya, dan itu membuatnya menghentikan kegiatannya. Dia mencoba memfokuskan indra pendengarnya. Memastikan pendengarannya yang sebelumnya tidaklah salah.

“Liana! Gue di sini.” Ah, suara ini. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke arah luar pagar. Yang ternyata sudah ada Rakha-yang berdiri di luar pagar-dengan posisi khasnya, bersandar di atas motornya serta melambaikan tangan pada Liana. Ouh, ya, jangan lupakan senyumannya yang kali ini terlihat sangat berseri dari sebelum-sebelumnya. Atau mungkin Rakha yang tak pernah menunjukan senyumannya itu.

Gadis itu sedikit tercengang, kendatipun begitu kakinya tetap melangkah mendekati pria itu. “Mas? Udah lama?” lontar gadis itu setelah berdiri tepat di depan Rakha.

“Itu nanti aja gue jawab. Sekarang lu naik, biar gue antar. Bentar lagi gerbang bakal ditutup, jadi jangan banyak tanya dulu, oke?” Tanpa babibu pria itu langsung memakaikan helm pada gadisnya-yang menunjukan tampang terpegun.

Setelah selesai mengaitkan kunci helm. Rakha melambaikan sekali tepat di depan wajah Liana. Dia melakukan itu karena mengetahui Liana sedang termenung. “Jangan melamun. Ingat waktu, Liana.” Rakha mengingatkan.

Liana mengedipkan beberapa kali kelopak matanya setelah tersadar dari lamunannya dan segera mengikuti Rakha yang sudah siap untuk berkendara.

Dirasa Liana telah nyaman dengan posisinya. Rakha menekan persneling, kemudian menstarter motornya. Dan mereka pun pergi di atas kebingungan sang sopir yang sedari tadi melihat kegiatan mereka.

***

“Eh! Eh, Pak! Jangan tutup dulu, Liana belum masuk,” pekik gadis itu yang masih berada di atas motor Rakha. Bahkan Rakha belum benar-benar menghentikan motornya, tetapi gadis mungil itu sudah sibuk di tempatnya untuk segera turun dari motor.

Pak Retno—satpam sekolah—yang sangat mematuhi peraturan itu tidak menghentikan pergerakannya untuk menutup gerbang. Dia tetap melanjutkan menutup gerbang tanpa menoleh sedikit pun pada Liana.

Takdir Yang Tertulis [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang