42. Awal Kisah

210 47 29
                                    

Happy reading, and hope u enjoy!

***

    KAKI jenjang Nia melangkah cepat di koridor sekolah-yang sudah lumayan sepi-sembari bersenandung. Tenggorokannya terasa kering, bahkan air liur pun tak sudi mengalir di sana.

"Ekhem. Khem! Ah ... otak gue yang tersiksa karena ujian, tapi kenapa tenggorokan gue yang menderita, ye? Kantin, ah."

Ujian yang melelahkan telah usai. Kini saatnya ia pulang untuk mengistirahatkan kepalanya yang sudah kaku seperti sempak baru dan buntu seperti jalan hidup kamu.

Setelah melewati beberapa kelas, Nia sampai di kantin. Belum saja kakinya memasuki ambang pintu kantin, langkahnya mendadak tertahan.

Mundur beberapa langkah, menjauhi pintu dan bersembunyi di balik dinding.

Bukan tanpa alasan ia bertingkah seperti itu. Pasalnya Nia tidak sengaja mendengar nama sahabatnya disinggung di obrolan kelompok gadis.

Telinga tetangga menguping pun mode: on.

"Katanya, sih, Liana pergi besuk neneknya yang lagi sakit di Bali." Siswi dengan name tag Salsa Dwiyana berujar.

Renata yang duduk di sebelah Salsa, ketika mendengar nama Liana disebut, seketika jiwa antusiasmenya ingin ikut menimbrung pun memuncak. Ia berdecih remeh. Tidak percaya dengan apa yang dikatakan Salsa. "Lu tahu dari mana? Palingan juga dia lagi holiday di sana."

Salsa sedikit tersentak mendengar penuturan Renata yang berpikir negatif. Entah kenapa ia tampak terusik. "Dari Nia. Tapi lu tahu dari mana kalau Liana lagi holiday? Mana mungkin seorang Liana si murid teladan relain ujiannya gitu aja demi jalan-jalan," serbu Salsa tidak setuju dengan tuduhan Renata.

"Tapi, Sal, gue setuju apa yang dibilang Renata. Lu pernah dengarkan kalau bokap Liana temenan sama pak Kepsek? Menurut gue nih, ya, dia nggak besuk neneknya, tapi kayak lagi ngelakuin sesuatu gitu. Lagipula nenek dari bonyoknya kan udah pada meninggal." Julia yang duduk berhadapan dengan Renata ikut menimpali.

Berbeda dengan yang lainnya, Popi si gadis berkaca mata bulat-yang tampak sedang dijatuhi ilham itu-menjulurkan jarinya ke tengah-tengah di antara mereka penuh semangat.

Renata, Salsa, dan Julia sontak menatapnya heran sekaligus kesal.

"Apaan, sih, bikin kaget aja lu," sewot Renata.

Popi membalas dengan cengiran lebarnya, lalu berujar membara-bara, "Guys! Kalian pernah kepikiran nggak kalau Liana ke Bali lagi resepsi pernikahannya?"

Ketiga gadis yang berkumpul kontan menautkan alis serta berseru kompak, "Hah?!"

Ah~ pasti pada nggak ngerti, pikirnya polos. Lantas ia pun berinisiatif melanjutkan argumen tidak masuk akalnya itu.

"Nih, ya. Coba deh kalian pikir-pikir lagi, kan pak Kepsek punya anak cowok yang umurnya udah memasuki kepala tiga tuh, terus ... karena bokapnya Liana kenal sama pak Kepsek. Berhubungan pak Kepsek akhir-akhir ini jarang nampak, bisa aja kan pak Kepsek sebenarnya lagi sakit keras, jadi karena dia tahu kalau umurnya udah nggak lama lagi, dia pengin banget lihat anaknya nikah."

"So, karena alasan itu, dia minta ke bokapnya Liana untuk menikahkan anaknya sama Liana."

"Terus! Terus! Mereka kayak nutup-nutupin gitu karena Liana yang masih sekolah, jadi kemungkinan besar Liana pergi ke sana bukan besuk neneknya tapi lagi resepsian. Kalian pernah dengarkan kalau anaknya pak Kepsek tinggalnya di Bali?" jelas Popi menyala-nyala.

Takdir Yang Tertulis [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang