Happy reading, and hope u enjoy!
***
SUDAH tiga hari berlalu begitu saja. Tanpa Rakha dan Liana yang saling menyapa.
Ah, tidak. Bahkan sekadar bertemu pun tidak pernah.
Rasa rindu di antara keduanya pun kian bertambah, sebab tak ada satu pun di antaranya mengetahui kabar masing-masing.
Jika boleh jujur, sesungguhnya Liana ingin sekali menemui Rakha dan melanggar segala peraturan sang mamah sesekali.
Akan tetapi, takdir tak mendukungnya. Liana sama sekali tak tahu di mana Rakha berada sekarang. Ada dua kemungkinan yang Liana ketahui. Pertama, mungkin saja Rakha berada di rumah pamannya. Dan kedua, bisa saja Rakha sedang berada di rumahnya.
Pertama, ia ingin berkunjung ke rumah paman Rakha, tetapi bodohnya ia baru ingat bahwa tidak tahu di mana alamat pamannya. Kedua, ia ingin berkunjung ke rumah Rakha, tetapi sayangnya ia harus bersama Rakha baru bisa ke sana.
Karena kedua alasan itulah ia tak bisa menemui pria itu. Alhasil harus membuatnya menunggu, dan menunggu.
Nunggu itu nggak enak! kalbunya bersuara.
Lantaran kesal Liana mengentakkan kakinya pada lantai koridor yang tidak bersalah, hingga menimbulkan suara pijakan nyaring yang membuat Nia di sampingnya menatap aneh sahabatnya.
“Kenapa lu?” Nia bertanya sembari memberi senyuman menyapa pada guru yang berpapasan dengan mereka.
Liana yang sadar akan sikapnya yang aneh pun menggeleng bersamaan dengan cengiran yang terbit di bibirnya. “Nggak apa-apa,” kilahnya.
Dua gadis itu menuruni anak tangga dengan langkah cepat, sebab sebelumnya Liana mengatakan bahwa pak Rino telah menunggunya. Karena merasa tak enak hati, Liana pun harus cepat menemui pak Rino yang menjemputnya.
“Gue nggak yakin lu nggak kenapa-napa. Masih kepikiran doi lagi?” tebak Nia yang jelas sangat disetujui oleh hati Liana.
“Hm,” gumam Liana pelan pada saat di anak tangga terakhir.
“Udahlah, jangan terlalu dipikirin kali. Nanti dia juga bakal datang nemui lu kok setelah ujian kita selesai.” Nia mencoba menentramkan hati sahabatnya yang tampak ruwet saat ini.
“Tapi kelamaan Nia ...,” racau Liana sedikit frustrasi.
“Ya jadi gimana dong? Lu mau nemui dia juga gimana coba? Lagian lu kenapa goblok, sih, pakai lupa segala nanyain di mana alamat pamannya,” cela Nia kejam tanpa memperhatikan perasaan sahabatnya. Untungnya Liana tak terlalu menanggapi ucapannya yang begitu frontal.
“Namanya juga manusia, Nia.” Liana berjalan dengan pundak yang menurun, lesu. Menyesal akan kebodohan dirinya sendiri.
Nia yang melihat sahabatnya itu menjadi makin lesu saja, lantas dia hanya bisa geleng-geleng kepala tatkala menyadari bahwa sahabatnya itu ternyata sudah menjadi bucin. “Ah, elah, sabaran dikit ngapa. Ditahan dulu tuh rindu. Berasa kayak nggak bakal jumpa lama aja, padahal mah cuma semingguan lebih,” ledek Nia yang membuat sahabatnya bereaksi lirikan horor.
Nia membalasnya dengan senyum hampa. “Ampun, Neng Jago,” kelakarnya.
Setelah melewati beberapa kelas dan menyusuri lapangan, pada akhirnya pun mereka sampai di depan gerbang.
Liana langsung menghampiri pak Rino yang menunggu di luar mobil dan langsung menaiki mobil setelah ber-say goodbye pada Nia.
Nia pun hanya melambai-lambaikan tangannya setelah mobil sedan hitam menjauh dari pandangannya. Tanpa ia sadari terdapat seorang lelaki yang sedang memperhatikannya dari jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Yang Tertulis [End]
Teen Fiction[Follow sebelum membaca, tidak akan membuatmu berubah menjadi Iron Man] Bagaimana reaksi kamu ketika ada seorang pria asing yang membangunkanmu di kamar milikmu sendiri? Kaget? Takut? Pastinya. Baik, mari kita naik level. Apa yang akan kamu lakukan...