Tubuh Rafa meringkuk lemas di ranjangnya, meratapi berbagai foto tergantung manis di dinding kamar penuh kenangan. Nampak indah, tapi menyakitkan itulah yang ada di benak Rafa. Air matanya seakan-akan habis, satu air mata sudah tak bisa keluar dari mata panda itu. Meratapi kematian Dila adalah hal yang dirutinitaskan oleh Rafa satu bulan ini.
Satu bulan setelah kepergian sang istri yang memberi banyak warna bagi Rafa, kini hanya meninggalkan kenangan manis dan sejuta harapan yang ditinggalkan. Sesak, dadanya seakan-akan ingin meledak dengan segala rasa kehilangan orang yang ia cintai.
"Empat tahun kita menikah ... kamu hanya meninggalkan mas puing-puing kenangan ini, dek."
"Kenapa ... setelah mas rasa adek akan selalu bersama dengan mas, takdir tak lagi mengizinkan mas bahagia denganmu, dek."
Tangan Rafa masih setia memegang bantal milik Dila yang membuatnya semakin menjadi-jadi akan perasaan rindu. Mulai dari caranya memperlakukan Rafa, cara senyumnya, cara tidurnya, cara berjalannya pula.
"Raf ... Umi masuk, ya? kamu harus makan sayang ...," ujar Umi Nabilla kemudian masuk ke dalam kamar Rafa
"Sini, Umi suapin atau kamu makan sendiri?" tanya Umi senyumannya nampak getir, mendapati mata putra semata wayangnya itu layu menatap kosong ke arah foto Dila yang ada di nakas
"Rafa makan sendiri saja Umi, Umi istrirahat saja, ya?" pungkas Rafa kemudian mengambil alih piring di tangan Umi Nabilla
"Baiklah, dihabiskan, ya? supaya kamu bertenaga."
Rafa memakan semua yang ada di atas piring itu sambil tak berhenti mengucap istigfar. Menyadari jika selama satu bulan ini ia hanya meratapi takdir yang tentu saja itu adalah pembuang-buangan waktu semata. Selepas makan ia segera menyambar catatan sidangnya, ternyata sangat banyak. Sengaja Dila menulis catatan sidang itu dengan pena, supaya lebih terlihat tertata dan rapih.
"Ya Allah dek ... kamu adalah istri siaganya mas, apa pun tentang mas ditulis di sini," gumam Rafa ketika membuka buku kecil berwarna kuning yang penuh dengan tulisan tangan milik Dila
'Jadwal Rutin Sunnah Rosul Untuk Mas Afa dan Adek.'
Dahi Rafa mengernyit, alisnya pun hampir menyatu ketika matanya tak sengaja membaca buku kecil berwarna merah tua yang berjudul tersebut. Rafa membukanya sebentar menutup lagi kemudian menyimpannya dalam nakas sambil tertawa kecil.
"Dek, kenapa soal itu harus dibukukan? konyol sekali."
Rafa bangkit dari duduknya, menuju arah kamar mandi untuk membersihkan diri. Tak lama usai mandi ia segera memakai jas berwarna hitam berserta dasi menampakkan kegagahannya. Kadar ketampanannya semakin meningkat, ketika kepalanya di suguhi dengan kopyah hitam.
Rafa tersenyum di depan cermin, mencetak senyumannya dengan manis, lesung pipinya keluar dengan menawannya kemudian berkata, "ingat, Raf tangisan di bantal tak akan merubah apa-apa."
•••
Dila mengedarkan pandangannya kepada terminal yang sangat luas ini, dirinya sendiri terlihat binggung hendak berjualan kemana minuman dingin yang ada di termosnya. Sudah banyak penjual minuman dingin yang langsung menyambar penumpang yang baru saja keluar dari bus untuk membeli minuman dinginnya. Alhasil, Dila duduk di bangku pinggir terminal di temani termos setianya.
Selama satu bulan ini Dila tak tahu hendak pulang kemana, ia memutuskan untuk memulainya dari awal tanpa kehadiran seorang Rafa di hidupnya. Dila tinggal di sebuah kontrakan masuk gang, cukup banyak tentangga di sana. Apalagi, tetangganya sangat ramah dan sopan-sopan. Tinggal di kontrakan tersebut membuag Dila merasakan indahnya berbagi dalam keterbatasan, ah sangat indah, sungguh!.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdirku Untukmu (END)
Romance📚 Spiritual - Romance "Saya gak gigit kok, gak perlu takut," ucap Rafa di tengah-tengah kesunyian mobil, membuat Aida tercenggang. Dila yang sedang menunduk sambil memegang erat cardigannya sontak menatap ke arah depan, mendapati suara tawa Aida d...