Dila menselonjorkan kakinya setelah lumayan lama membantu menyiapkan nasi kotak untuk tamu di hari akad Aida, bayi di dalamnya kini super aktif memenendang sana-sini. Terkadang tendangan dari sang bayi yang ada di dalam kandungannya itu membuatnya terkejut, pasalnya tendangannya itu cukup keras.
Kini Dila ada di kamar tamu rumah Aida, tangannya tak berhenti mengusap perut buncitnya sambil menyalakan AC. Ketika hawa dingin telah merasuk ke tubuhnya, barulah Dila berbaring di ranjang.
"Gerah lagi, dek?" Rafa menutup pintu kemudian duduk di tepi ranjang
"Iya ... gerah banget malahan, tapi udah ada AC kok," timpal Dila
Tangan Rafa sontak bergerak di atas gundukan perut istrinya, sekali-kali menciumnya dengan penuh kasih sayang. Sedikit geli ketika Rafa menciumi perutnya, tapi hendak bagaimana lagi? Entahlah.
"Nanti kalau acara ijab qobul diselenggarakan, adek diam di kamar Ai, temani dia," titah Rafa kemudian berjalan menuju arah kamar mandi
"Iya, mas pasti itu."
"Dek, kopyah mas yang warna hitam kamu taruh di mana?" Rafa memberantakkan tote bag yang tergeletak di atas meja
"Ada, mas di situ coba kalau cari itu lebih diteliti jangan terburu-buru." Dila bangun dari rebahannya lalu mencubit lengan Rafa pelan.
...
Keluarga dari Bian dan Husna kini telah berkumpul di ruang tamu yang berhias cantik dengan bunga gardenia putih juga merah yang membuat semerbak wangi. Dila masuk ke kamar Aida, kini kamar yang dahulu bernuasnas putih bersih berganti dengan bunga mawar yang ada di mana-mana. Harumnya wangi menyengat.
"Assalamualaikum, calon istri orang, semoga tetap dalam keadaan sehat wal afiat, ya?" Dila mendekat kepada Aida yang tengah duduk di kursi meja rias
"Waalaikumsalam, udah jangan goda aku dulu, lagi tegang tahu," cetus Aida tak berhenti memilin ujung niqabnya
"Sensitifnya, Aida. Baiklah kalau begitu, Dila diam."
"Bagus, doain juga supaya Aida bisa menerima dan melayani Kak Bima dengan baik." Aida merapalkan tangannya, matanya terpejam sempurna
"Siap, deh yang penting jangan putus berdoa, ya Ai."
"Bismillahirrahmanirrahim, Aida pasti bisa."
Suasana ruangan tamu kini terkesan hening, hanya ada suara tarikan napas Bima yang akan mengucapkan qobul. Aida yang ada di dalam ruangan menunduk, meresapi satu persatu dunia percintaannya yang kini telah tiba dengan hadirnya Bima dalam kehidupannya.
"Saya terima nikah dan kawinnya Aida An-Nabiyyan binti Muhammad Bian Al-Asegaf dengan mas kawin tersebut tunai." Dalam satu tarikan napas Bima menyelesaikan ucapan qobul yang sangat sakral itu
Setelah ijab qobul dilaksanakan, saatnya Aida turun ke lantai dasar untuk menemui Bima. Sampai di mana Aida sudah sampai di lantai dasar, ia mendakat kepada tubuh suaminya kemudian mencium tangan Bima yang kini terkesan sangat dingin.
Tangan yang sama-sama dinginnya kini menyatu, tak lama mereka lepaskan. Bima dan Aida kini menandatangani beberapa kertas di atas meja, setelah Bima mengusap ubun-ubun Aida dengan membacakan suatu doa.
Tidak ada acara lagi setelah ijab dan qobul. Bima dan Aida memang sepakat untuk tidak merayakan pernikahannya secara mewah. Baginya, ijab fan qobul adalah hal sakral yang terpenting sebagai landasan suatu pernikahan.
Hari sudah malam, semua yang ada di rumah Aida telah pulang ke kediamannya masing-masing. Semoga saja Aida bisa menerima Bima, walau pun perasaanya kali ini bukan untuk Bima melainkan untuk Dani, adik kandung Dila. Tetapi, bukankah cinta datang karena terbiasa? Aida pasto bisa memberikan ruang yang luas di hatinya tanpa ada kata 'Dani'.
•••
Veendy duduk di balkon rumah sambil menikmati kue yang diberikan oleh Husna kepadanya, sebagai bentuk ungkapan syukur atas pernikahan putri bungsunya itu. Percikan air hujan sedikit-sedikit membuat Dani yang tengah sibuk ke layar laptopnya untuk keluar menuju balkon, melihat suasana gerimis hujan di langit yang gelap.
"Pa? Lagi ngapain? Di sini dingin," ujar Dani ketika ke balkon rumahnya mendapati Veendy di sana
"Tak apa, papa hanya ingin menikmati kue ini, kamu mau? Sini duduk di samping papa." Veendy menepuk kursi yang ada di sampingnya
"Kue dari kakak, ya?" tanya Dani sembari mengambil satu kue dari wadah
"Iya ... tepatnya dari sepupunya Rafa," timpal Venndy kemudian meneguk kopi panas di cangkir instannya itu
"Acara apa? Tasyakuran?" tanya Dani terdengar sangat penasaran
"Iya, tasyakuran nikahan kalau gak salah." Veendy menaruh gelas di meja kemudian menatap mata Dani lekat
Dani akan sorot mata papanya kali ini, sangat menandakan bahwa ia akan berbicara serius. Veendy menghela napas pelan, menatap mata Dani yang nampak menunggu apa yang akan ia bicarakan.
"Papa ingin minta sama kamu, mulai sekarang lupakan soal gadis yang pernah kamu ceritakan ke papa bahwa kamu akan mengajak ia berta'aruf bulan depan." Dani menalan salivanya susah payah, merasa hal ini adalah mimpi
Veendy yang kemarin sangat antusias penuh mendukung Dani untuk berta'aruf dengan seorang gadis. Kini, Veedy meminta untuk melupakan gadis itu, ini adalah patah hati terhebat bagi Dani. Di mana seorang laki-laki prioritasnya meminta untuk melupakan calon prioritasnya yaitu gadis tadi.
"Maksut papa, gadis itu Aida?" tanya Dani dengan kondisi hatinya yang kini seperti ditekam oleh sebuah belati tajam
"Iya ... dia sudah bersuami sekarang, lupakan gadis itu, biarkan dia tenang dengan surganya," tutur Veendy diakhiri dengan menepuk pundak Dani
"Baiklah, Dani akan melupakannya."
Sorot mata Dani terkesan kecewa kali ini, tak ada lagi yang bisa ia perbuat. Seorang gadis yang selalu diselipkan dalam doanya, harus segera dilupakan dengan alasan dia sudah bersuami. Dani tersadar dalam atmosfer kecewanya, bangkit dari duduknya kemudian segera berwudhu untuk melaksanakan sholat isya.
Harapannya kini harus runtuh diterka kenyataan bahwa ia sudah didahului oleh seorang laki-laki yang juga menginginkan Aida untuk menjadi ruang singgahnya. Hatinya sedang tak baik-baik saja kali ini, ketika nama yang sudah terlanjur dilangitkan, tetapi badai kenyataan mengahampirinya kemudian membawanya begitu saja.
"Ini patah hati yang ke sekian kalinya, beri hamba ketabahan."
T B C
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdirku Untukmu (END)
Romance📚 Spiritual - Romance "Saya gak gigit kok, gak perlu takut," ucap Rafa di tengah-tengah kesunyian mobil, membuat Aida tercenggang. Dila yang sedang menunduk sambil memegang erat cardigannya sontak menatap ke arah depan, mendapati suara tawa Aida d...