📚 39. Rencana Allah

1.8K 171 44
                                    

Beberapa bulan kemudian ....

Rafa menatap istrinya yang tengah merapikan buku dari tasnya menuju rak, kemudian tangannya ikut serta dalam menata buku itu. Gundukan mulai terlihat di perut Dila, pasalnya kehamilannya sudah memasuki lima bulan. Kini pakaian Dila sangat instan, hanya gamis berkain tipis yang menyerap keringat, pasalnya di usai kehamilannya yang semakin menambah, kegerahan semakin hinggap di tubuhnya kapan pun itu.

Dari perutnya yang kini sudah memunculkam gundukan, sebagian dari pakaiannya sudah tak muat. Janin yang ada di rahimnya kian bertumbuh setiap bulannya, semakim memunculkan gundukan yang membawa rasa bahagia di benak mereka.

"Dek, buku sebanyak ini masih mau dipakai atau disumbangkan saja?" Rafa bertanya kepada Dila yang kini duduk di karpet sambil mengusap perut buncitnya teratur

"Sebagian disumbangkan saja, mas soalnya kamarnya jadi terkesan sempit karena buku-buku itu. Apalagi, habis ini ada dedek bayi, otomatis kita harus nambah lemari di kamar ini," ucap Dila dengan menatap Rafa yang membelakanginya karena sedang menata buku

"Tapi, adek masih sayang sama buku-buku itu," Dila memasang wajah sedih bukan tak mau menyumbangkannya, tapi ia sudah terlanjur sayang

"Ya sudah, mas akan buat perpustakaan di rumah ini buat buku-buku kita, gimana senang enggak?" Rafa berlajalan menuju Dila kemudian mengusap gundukan di perut Dila teratur

"Terima kasih, ya mas peka banget."

Kemudian mereka segera berganti baju untuk datang ke acara lamaran Aida. Lamaran ini memang mendadak, bahkan seorang calon laki-laki memberitahukan kepada Bian tadi malam. Tidak ada prosesi ta'aruf yang dilakukan, sebab pihak laki-laki ingin segera memperistri Aida. Untuk jawaban Aida, itu urusannya.

•••

Beberapa makanan ringan berjejer rapih di meja ruang tamu Aida, makanan itu disajikan semata-mata untuk menyambut datangnya pihak laki-laki. Bia dan Husna telah menyerahkan kepada Aida atas terima atau tidaknya lamaran dari seorang laki-laki yang selama ini tak ia kenal dan tak pernah satu pun bertamu ke hati yang mudah terbawa perasaan itu.

Di sana hanya ada Dani semata, Aida sempat dibinggungkan oleh keadaan. Tapi pagi ini, dia sudah menyiapkan jawaban atas kebingungannya itu setelah mengkaji beberapa kitab yang di sana membahas tentang dunia percintaan. Kini ia mencoba untuk tak memberontak akan keadaan, ia harus mengalah dengan keadaan kali ini.

"Aida, bismillah ya? Ingat rencana Allah lebih baik," ujar Dila sambil memakaikan niqab di wajah Aida yang kini terlihat sangat tenang

"Doakan Ai ya? Supaya apa pun pilihan Ai tak salah." Aida menatap lekat mata Dila yang kini menyipit karena tersenyum di balik niqabnya

"Iya, kamu tenang saja Ai."

"Ai gak tahu siapa laki-laki itu, yang pasti namanya itu Muhammad Abi Masdar, semua orang panggil dia dengan Bima. Kamu tahu, kan saat ini perasaan Ai buat siapa? Kalau kamu tahu tolong pendam, ya? Bantu Ai lupakan dia." Aida mencurahkan isi hatinya sambil memakai kaos kaki

"Dila paham kok perasaan kamu saat ini untuk siapa, aku harap Ai bisa cepat-cepat lupakan dia," tutur Dila sambil duduk di ranjang Aida

"Kamu sudah ada jawabannya bukan untuk lamaran ini? Mungkin ini hal yang mengejutkan buatmu, secara dia tiba-tiba hadir dengan keseriusan. Tinggalkan dan lupakan siapa pun laki-laki yang tidak serius denganmu, kalau sudah di depan mata jangan mencari yang masih bersembunyi di balik batu." Dila tersenyum sesaat kemudian mengajak Aida keluar karena pihak laki-laki sudah sampai

Di lantai dasar terdapat pihak laki-laki dari Bima, juga ada dari keluarga Aida yang sudah berbaur di dalam obrolan. Dila memegang tangan Aida yang kini sangat dingin, mungkin ini efek di mana dia akan bertemu dengan sang calon imam. Dari hal ini, Dila menjadi teringat di mana masa-masa lamaran dengan Rafa, laki-laki yang kini akan menjadi seorang Abi untuk janin di perutnya yang kini sudah bertumbuh besar setiap bulannya. Sekali-kali Dila mengelus perut buncitnya sambil menunduk memegang tangan Aida.

"Aku tahu kalau kamu gugup, tenang ya. Dila juga pernah kok di masa-masa ini, pokoknya tetap berdoa sama Allah."

Kini Aida duduk di sofa bersama kedua orang tuanya, kemudian Dila duduk di sofa yang sedikit jauh dari sofa ruang tamu tepatnya di ruang keluarga bersama Rafa. Rafa memandang mata menyejukkan istrinya kemudian memegang tangannya.

"Mas, lepas dulu ya? Lagi banyak orang gak baik," bisik Dila sambil melepaskan tangan Rafa

"Orang di sini gak ada siapa-siapa, malu ya? Kayaknya dedeknya laki-laki deh, Uminya gak mau dimanjain," timpal Rafa sambil mencubit pelan tangan Dila

"Apa sih, mas? Adek, kan cuman nyuruh buat lepasin jadi bawa-bawa dedek bayi, adek gak suka ya mas ngarang-ngarang gitu sebelum ada USG berhenti ngarang perempuan atau laki-laki," sarkas Dila

Rafa menatap mata istrinya sambil menahan tawanya. Dila memang sangat sensitif jika sedang hamil kali ini, apa-apa harus sesuai dengan isi pemikirannya. Kalau tidak dipatuhi oleh Rafa, bisa-bisa ia tidur di luar nanti malam.

"Iya, mas minta maaf jangan marah lagi, ya?" Kata Rafa kemudian mencium perut buncit istrinya sesaat

"Nak, Umi lagi mode galak, jangan nendang-nendang ya? Nanti aja kalau udah lahir main bola sama Abi," monolog Rafa dengan perut buncit istrinya

"Mas ... sama aja ini kamu ngira anak kita laki-laki, adek sudah bilang jangan ngarang jenis kelamin dedek."

Rafa terdiam tak lama tangan jahilnya mengelus puncak kepala Dila hingga kerudungnya berantakan, sangat jahil.

Rumah ini tiba-tiba menjadi hening, hanya ada suara gemercik ayam yang dimasukkan ke dalam wajan, di sana ada pembantu rumah tangga Husna yang tengah menggoreng ayam untuk menjamu pihak laki-laki.

"Bismillahirahmanirrhim, saya Muhammad Abi Masdar kedatangan saya di sini sekeluarga untuk meminang Aida An-nabiyyan. Mari kita sama-sama menjalankan titah Allah seraya melakukan sunnah rosul. Mau, kah kamu Aida An-nabiyyan untuk menjalakan titah-Nya dengan hubungan suci pernikahan?" Bima mengucapkannya dengan satu tarikan napas yang penuh dengan keyakinan

Sorot mata Bima nampak menunggu jawaban dari Aida yang kini ada di hadapannya yang hanya terpisah dengan meja. Bima masih dalam keadaan menunduk, jantungnya terus berdebar tak karuan.

Dada Aida seakan-akan bergema terbawa perasaan oleh perkataan Bima, ia menarik napasnya dalam-dalam lalu mengehmbuskannya.

"Mau," jawab Aida terdengar enteng di telingan Bima padahal Aida dengan susah payah untuk mengatakan kata itu

Bima yang pawakannya terkesan sangat humoris itu memanfaatkan keadaan agar calon istrinya tak gugup.

"Mau apa, Aida?" Bima bertanya kepada Aida sorot matanya nampak bahagia

"Katakan lebih jelas, Nak," pinta Husna kepada Aida yang tengah memilin ujung niqabnya sendiri

"Iya ... saya mau menerima pingannya."

Semua yang ada di ruang itu tersenyum bahagia, diterimanya pinangan Bima membuat Bian dan Husna lega. Putri bungsunya kini akan diperistri dengan laki-laki yang selama ini memang diam-diam ia idamkan untuk anak bungsunya itu.

"Untuk tanggal pernikahannya saya serahkan kepada kamu, Nak Bima kita dari pihak perempuan akan menerimanya," tutur Bian

Aida melotot sempurna dalam tundukannya, sampai di mana Husna memegang tangannya yang sangat dingin itu ia merasa tenang.

"Untuk niat baik harus disegerakan," timpal Ahmad, orang tua kandung dari Bima

"Bagaimana kalau besok?" timpal Bima dengan gigi yang nampak sangat rata itu

Semua pandangan tertuju kepada Aida, tanda bahwa mereka memerlukan persetujuannya atas ucapan Bima. Pertama-tama ia menatap mata kedua orang tuanya bergantian, dari sorot mata keduanya nampak sangat setuju akan usulan Bima.

"Aida menurut dengan Kak Bima, kalau pernikahannya disegerakan besok."

Aida menunduk lagi sambil memilin ujung niqabnya. Rafa dan Dila mendengarkan semua percakapan itu dengan Rafa yang tak berhenti mengelus gundukan di perut istrinya.

"Kalau adek jadi Aida, gimana? Nerima atau menunggu yang enggak pasti?"

"Kalau ada yang di depan mata, terima saja. Daripada menunggu yang tidak pasti begitu bukan, mas?" Dila menatap mata Rafa yang lentik dengan bulu matanya

"Kamu pintar, isrtriku."

T B C

Takdirku Untukmu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang