📚 49. Dadah, Kita Pergi Dulu

3.3K 146 1
                                    

Pagi ini sangat indah, matahari bersinar cerah menimpa pepohonan di sekitar halaman rumah senja yang terkesan sangat hijau oleh rerumputan rapih. Puncak gunung muncul di atas warna-warna hijau kebiruan alam di sekitarnya. Langit pagi ini sangat cerah, secerah hati mereka yang akan masuk suatu pondok pesantren di Yogyakarta.

Mereka adalah Adam, Ibrahim, Rumaisha dan Alifia. Mereka masuk pondok atas keiinginan mereka sendiri, tidak mengandung unsur paksaan sedikitpun. Dila dan Rafa merasa bahagia, anak-anak yang ia rawat sejak kecil kini sudah bertumbuh remaja, termasuk ke empat anak tersebut.

"Kak, nanti kalau di pondok pesanten, jaga diri, ya? Saling menjaga satu sama lain." Dila menatap ke empat anak yang kini sedang sarapan pagi, anak yang lainnya tengah berkemas untuk pergi ke sekolah.

Mereka mengangguk pelan sembari memakan sarapannya masing-masing. Tak lama makanan mereka tandas, mereka segera meneguk susu putih yang telah disiapkan oleh mpok-mpok rumah senja.

"Umi ... Fia nantinya di pondok bakal satu kamar, kan sama Rumaisha?" Alifia berjalan menuju dapur sembari membawa bekas makanan Rumaisha, Adam dan Ibrahim.

"Eh ... Fia, biar aku saja ngapain kamu bawa?" Rumaisha mengambil alih piring di tangan Alifia, kemudian Alifia memberikannya.

"Sekalian dicuciin punya Ibra sama Mas Adam, ya? Hitung-hitung pahala ya, Sha?" Ibrahim menatap punggung Rumaisha yang membelakanginya, kemudian Ibrahim terkekeh.

"Gak perlu gitu juga kali, Kak Ibra. Isha pasti cuciin kok, kan kita saudara." Adam tersenyum tipis, kemudian mengelap bibirnya dengan tissu.

"Sip dong kalau gitu, kalian ini kompak banget. Umi harap kalian di pondok nanti tetap kompak, jangan sampak ada pertengkaran," kata Dila sambil membantu Rumaisha mencuci piring.

Alifia menatap Dila dan Rumaisha mencuci piring, dengan cekatan ia langsung ikut terjun untuk mencuci piring.

"In Syaa Allah, umi kita bakal tetap kompak, umi doakan, ya?" Adam tersenyum tipis kemudian beranjak ke dapur untuk membantu mencuci piring.

Ibrahim mendengus keheranan ketika mendapati Adam yang ikut-ikutan mencuci piring bersama mereka. Ibrahim ingin membantu, tetapi dengan perutnya yang kenyang ini ia jadi enggan untuk berdiri. Dasar pemalas, batin Ibrahim sambil beranjak dari duduknya menuju dapur, menepis segala rasa malas di jiwanya.

Beberapa piring telah dibersihkan dengan sabun cuci piring oleh Dila, lalu dibasuh menggunakan air kran oleh Rumaisha, disusul oleh Adam yang meletakkan piring-pirimg tersebut menuju rak piring.

Ibrahim celingak-celinguk ingin membantu dalam pekerjaan apa, tak ada lagi bagian untuk Ibrahim. Dengan santai, Ibrahim duduk di kursi sambil menatap setiap sudut dapur yang terkesan luas.

"Kak Isha ... tolong ambilkan sabun cuci piring di rak gih, sepertinya ini mau habis," titah Dila sambil menghabiskan sisa kecil sabun cuci piring.

Rumaisha mengangguk, ia membalikkan badannya. Ia terperanjat bukan main, ketika ada yang duduk di kursi samping rak, ia paham siapa yang duduk disana. Siapa lagi kalau bukan Ibrahim.

"Kak Ibra ... bangun, ada Abi Afa masih ingat, kan kata abi kalau ada orang lagi beres-beres itu dibantuin, emang mau dapat hukuman baca Surat Yasin duapuluh kali?" Rumaisha mengerjai Ibrahim, kemudian menutup mulutnya karena tak ingin suara tawanya didengar oleh Ibrahim.

Ibrahim membuka mata dengan cepat, segera ia berdiri dalam keadaan yang belum sepenuhnya sadar. Dengan tak sengaja ia menabrak pundak Rumaisha. Ibrahim membuka tutup matanya, seiringan dengan Rumaisha yang terpental ke tubuh Dila akibat tingkah Ibrahim tadi.

"Aws, Kak Ibra?! Sakit." Rumaisha memegang pundaknya, sambil meringis.

"Aduh, maaf ya, Sha. Kakak gak gak sengaja, abisnya kakak kaget kalau di sini ada Abi Afa," pinta Ibrahim dengan wajah memelas.

Takdirku Untukmu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang