📚 42. Jaga Jarak, Ingat Pesan Umi!

2K 160 1
                                    

Nadira bayi dengan parasnya yang ayu nan mungil masih memejamkan matanya di atas ranjang, terlihat ia tidur dengan nyenyaknya. Tak lama ketika orang tuanya mengucap salam akhir sholat subuh, ia terbangun tanpa merengek-rengek atau pun menangis.

"Dek, Dira terbangun." Rafa menyentuh pundak Dila dengan pelan ketika Dila menunduk sambil merapalkan doa

Dila mendogakkan kepalanya, kemudian berjalan menuju arah ranjang yang didominasi sprei berwarna putih. Ia meminang Dira sambil membaca shalawat, sampai di mana bacaan sholawat selesai Dira kembali tertidur di dalam dekapan Dila yang masih memakai mukenah.

"Dek, mau mas gantikan?" tanya Rafa sembari melipat sajadah kemudian menaruhnya dalam lemari

Dila menggeleng, masih bersih kerad menggendong Dira. Hendak menurunkan Dira dari dekapannya menuju ranjang tiba-tiba ia menangis kencang. Ah, terlihat sangat manja? Begitulah bayi.

"Sini-sini biar sama, mas kamu lanjutin aktifitas kamu." Rafa mengambil alih Dira dari dekapan Dila yang masih menangis

Berada di dalam dekapan sang abi, Dira berhenti menangis dalam sekejap. Mata Dira memandang mata sang abinya yang terkesan teduh, tanpa memalingkan pandangannya. Rafa mengusap kening putri munggilnya, menciumnya kemudian berjalan menuju arah balkon untuk menikmati udara pagi.

Dila mendengus, sambil berjalan menuju dapur. Bisa-bisanya putrinya itu bisa berhenti menangis dalam sekejap, sedangkan di dekapannya? Ia tak kunjung berhenti mengangis.

"Tak apalah, Nadira itu anak perempuan wajar saja jika lebih akrab dengan abinya"

Dila mengubah jalan pikirnya, seketika mengingat bahwa Dira adalah putri mereka berdua, bukan satu dari mereka. Ketika mencuci tangan, tiba-tiba pikiran Dila terbesit dengan hal yang membuatnya gelisah.

"Apakah aku gagal menjadi seorang umi untuk Dira?"

Ia menarik napas pelan, menghilangkan pikiran negatif tersebut. Mulai memasak dengan menyebut asma Allah, bersholawat atas nabi.

•••

Zakariyah mengernyitkan dahinya, mendapati teman sekamarnya yaitu Lutfi sepagi ini sudah tiada di sampingnya. Badannya masih enggan untuk menginjakkan kaki di lantai, terkesan sangat dingin bagi Zakariyah anak rumah senja yang masih berusia empat tahun itu.

"Lutfi? Kamu di mana ....," lirih Zaka yang masih mengenakan selimut

Zaka mengumpulkan tekad untuk bangun, kemudian menguap dengan syahdunya. Mulutnya sontak ditutup dengan tangan kirinya ketika mendapati Adam, laki-laki tigabelas tahun yang mengenakan kaos warna putih beserta sarungnya.

"Zaka? Kamu kebiasaan ya, kalau nguap suka gitu, enggak ditutupin. Meskipun gak ada yang lihat, tapi ada Allah yang lihat," cetus Adam sambil melipat selimut yang dipakai oleh Zakariyah

"Hoam, iya maaf, kak. Zaka gak akan ngulangin lagi. Kalau boleh tahu Lutfi kemana?" Adam menatap mata Zaka yang menayakan pertanyaan yang sedikit menyedihkan bagi Zaka

"Kita makan dulu aja, yuk? Terus abis ini kita bersih-bersih halaman sama kakak-kakak yang lain." Zaka mengangguk ceria, kemudian membantu Adam membereskan ranjangnya

Sepagi ini sudah ada berbagai makanan tertata rapi di meja makan, mereka segera memakannya dengan lahap tetapi santai. Dilanjut dengan membersihkan halaman rumah bagi yang laki-laki bersama paman pengasuh, sedangkan yang perempuan membersihkan dalam rumah bersama mpok-mpok pengasuh.

Takdirku Untukmu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang