"Kamu sudah siap?" tanya Reina yang masuk ke kamar Mario tiba-tiba.
Disana Mario masih tampak memandangi wajahnya sendiri. Hingga dia salah tingkah saat melihat Reina masuk.
"Umm.. Sudah" dehamnya bergegas keluar kamar.
"Baiklah. Kita akan naik taxi saja supaya kita bisa mendapat nomor antrian lebih cepat" kata Reina.
Hari ini adalah hari check up pertama Mario setelah dia pulang beberapa hari yang lalu. Dan hari ini juga jadwal dia mengganti perban di kepalanya.
Mereka berangkat lebih awal berharap mendapatkan nomor antrian yang depan.
"Yah.. Sudah nomor 15 juga" kata Reina lesu.
"Maaf.."
"Kenapa kamu yang minta maaf? Tidak apa-apa. Selagi menunggu kamu mau minum kopi? Aku berencana membeli kopi kaleng. Kamu mau?" tanya Reina menunjuk pada mesin minuman disana.
"Boleh.."
Mario menunggu Reina sambil melihat ke sekeliling. Walaupun masih pagi tapi sudah banyak orang yang duduk di ruang tunggu.
"Nih untukmu"
"Makasih"
"Oh ya.. Setelah dari sini aku bermaksud mengajakmu ke suatu tempat"
"Dimana?"
"Rahasia. Nanti kita langsung kesana saja" Reina menyengir melihat Mario yang tampak heran.
"15" suara operator terdengar.
"Ehh itu giliran kita. Ayo.." ajak Reina.
Di dalam, Dokter memeriksa dengan seksama keadaan Mario dengan stetoskop. Ia juga mengganti perban yang ada dikepala Mario dengan perban yang lebih kecil dan sudah tidak melingkari kepalanya lagi.
"Jadi bagaimana keadaanmu Mario?"
"Baik dok"
"Ya.. Saya juga melihat keadaanmu sudah jauh lebih baik dari waktu itu."
"Tapi dok.. Saya masih belum ingat apapun"
"Sekarang karena kamu mengalami amnesia sementara. Mungkin tidak akan begitu cepat kamu bisa mendapatkan kembali ingatanmu. Ada yang bisa mendapatkan kembali ingatannya dalam sehari. Tapi ada juga yang butuh berbulan-bulan dan bahkan bertahun. Ini tergantung dari psikis masing-masing orang. Jadi jangan khawatir. Nanti perlahan juga ingatanmu bisa kembali. Ini resep obatnya. Obatnya masih harus tetap dikonsumsi ya sampai checkup berikutnya." Dokter memberikan secarik resep.
"Terimakasih dok"
"Cepat sembuh ya.." kata Dokter menyemangati sebelum kami keluar dari ruangannya.
Reina lalu pergi menebus obatnya. Dari jauh dia melihat Mario yang kembali murung.
"Kamu kenapa?" tanya Reina menghampirinya dengan plastik obat sudah di tangannya.
"Tidak. Tidak apa. Oh ya katamu kamu mau mengajakku ke suatu tempat. Ayo!" Mario tiba-tiba berdiri dengan semangat.
Reina masih bingung melihat wajahnya yang langsung berubah. Padahal dia yakin dia melihat Mario yang tampak murung tadi.
'Ya sudahlah' batinnya yang merasa sedikit lega. Berusaha tidak ambil pusing pada perasaan hati Mario.
Sampailah mereka ke sebuah sekolah menengah. Karena saat ini sedang liburan menjelang natal. Maka tidak ada siswa atau guru yang terlihat. Hanya ada pak satpam yang terlihat di pos.
"Ini kan sekolah" kata Mario melihat nama yang terpampang besar di atas gerbang.
"Iya.. Ini sekolah kita dulu"
"Ohh"
"Ayo masuk selagi satpam itu tidak melihat kita" Reina menarik Mario dan mereka berlari melewati gerbang hingga sampailah mereka di lapangan basket.
Mereka berdua mengatur nafas dan berdiri lunglai.
"Ternyata aku sudah cukup tua untuk berlari seperti ini" tawa Reina.
Mario hanya ikut tertawa melihatnya.
Reina mengajak Mario berkeliling. Suasana sekolah tanpa ada orang sangatlah tenang. Hanya terdengar suara gemerisik daun dari pohon-pohon yang ditanam di sekeliling.
Mereka naik menyusuri satu per satu tingkat. Reina juga mengenalkan masing-masing kelas pada Mario.
Hingga sampailah mereka ke kelas XII yang mengarah langsung ke lapangan basket.
"Dulu itu aku sering ngeliat kamu main basket disana bareng teman-temanmu. Kalau uda jam istirahat kalian itu langsung aja nyerocos main basket disana. Sampai aku mikir kalian itu tidak pernah makan siang ya asik main basket aja. Padahal jam istirahat itu cuma lima belas menit. Dan kalian habiskan untuk main basket. Gak habis pikir aku.." omel Reina mengenang waktu itu.
Mario sedikit tersenyum mendengar omelan Reina.
"Nah di kelas ini juga kita pernah sekelas sekali. Itu pas uda tahun ke 12. Saat kenaikan kelas dari tahun 11 kelas kita diacak. Dan akhirnya kita sekelas. Tapi aku ingat kamu ini sangat pemalas. Aku pernah memergokimu tidur pada saat pelajaran.. Pelajaran apa ya" Reina berpikir sejenak.
"Ahh pelajaran bahasa. Kamu ketiduran sampai lonceng pulang berbunyi. Hingga aku yang tidak tega ini membangunkanmu. Kalau tidak ada aku mungkin kamu sudah bermalam disini" kata Reina dengan sombong.
"Baiklah kakak.. Terimakasih kalau begitu"
Reina terbahak dipanggil kakak.
"Tapi apa aku memang pemalas?" tanya Mario yang penasaran.
"Iya.. Tapi aku heran sih. Walau kamu sering tidur di kelas. Tapi nilaimu selalu bagus."
"Berarti aku malas karena aku pintar donk"
"Kok jadi menyombongkan diri begitu kamu?"
"Tentu saja. Itu kenyataan" Mario berbalik menyerang Reina.
"Ya anggap saja seperti itu" kata Reina.
"Tapi rasanya rindu juga ya sama kejadian dulu. Aku merasa seperti baru kemarin berdiri disini. Padahal nyatanya kita sudah lulus sepuluh tahun juga" Reina menghela nafas.
Mario hanya memandangnya.
"Ahhh maaf. Kamu pasti tidak ingat ya. Sepertinya hanya aku yang bernostalgia disini"
"Tidak apa"
"Jadi ada sesuatu yang kamu ingat setelah berkeliling?"
"Mau jujur atau bohong?"
"Maksudnya? Tentu saja jujur donk"
"Jujur tidak ada yang ku ingat sih"
"Kalau bohong?"
"Bohong kalau aku tidak ikut bernostalgia"
"Maksudnya? Aku tidak mengerti perkataanmu"
"Maksudnya walaupun aku tidak ingat. Tapi mendengar ceritamu sepertinya aku ikut membayangkan saat-saat yang kamu katakan itu. Jadi aku ada sedikit ilustrasi pada kejadian itu"
"Jadi maksudmu aku pintar karena sudah membuatmu ikut bernostalgia?"
"Ya begitulah."
"Apa aku juga sudah boleh menjadi penulis buku?"
"Mungkin saja" Mario tertawa melihat Reina yang sangat percaya diri.
Sebelum pergi dari sana, Reina melihat sekilas. Tampak pemandangan dua orang yang berlari berkejaran melewati mereka berdua. Sang pria tertawa senang dan berusaha mengelak sedangkan sang wanita terlihat kesal hendak memukul pria itu.
Reina hanya tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selfish Love
RomanceAku tidak pernah berharap kita bisa bertemu lagi. Tapi aku sangat mensyukuri kehadiranmu saat ini. Dan aku ingin memilikimu seutuhnya saat ini hanya untukku. Walaupun aku tau ini sangatlah egois. Memilikimu disaat kamu tidak mengingat apapun. Selfis...