Liar

222 16 4
                                    

Reina berdiri diantara mereka. Ia hanya bisa menatap mereka bergantian. Ia tidak bisa mengatakan apapun.

Mario segera menarik tangan Reina untuk ikut dengannya. Willy hanya bisa mengepalkan tangannya melihat kepergian mereka. Sarah juga keluar dari ruangannya dan memandang mereka dari pintu. Sedangkan yang lain hanya saling berbisik satu sama lain.

Setelah Reina dan Mario sudah pergi. Anita segera mendekati Mimi.

"Ada apa antara Reina dengan Bos?" tanya Anita penasaran.

"Mana aku tau." jawab Mimi.

"Apakah mereka memang sedekat itu?" tanyanya lagi.

"Tidak tau. Kamu kok nanya aku sih" jawab Mimi sewot.

"Ehh lihat. Bu Sarah terlihat kecewa tuh masuk ke dalam ruangannya. Wajahnya terlihat muram." senggol Anita pada Mimi.

"Iya ya.. kasihan Bu Sarah. Ia terlihat sedih"

"Si Willy juga tuh. Ia terlihat tidak senang" tunjuk Anita.

"Ya gimana saingannya itu Bos. Dia pasti mau tidak mau harus mendengar apa yang bos bilang." Mimi mengangkat bahu.

"Iya sih. Aku benar-benar penasaran sama Reina. Kenapa Bos yang dingin begitu bisa mau mengantarnya. Padahal dulu mantan istrinya saja tidak pernah diantar kemana-mana oleh Bos"

"Betul juga. Diam-diam hebat juga si Reina. Sekali mendayung dapat dua pria. Kita kapan??" tanya Mimi dengan mimik sedih.

"Iya kapan ya???"

Mereka mengaitkan jari tangan mereka dan saling berpandangan dengan menyedihkan.

****

Di dalam perjalanan, tidak ada satu patah pun suara yang keluar dari mulut mereka berdua. Hanya ada alunan musik klasik yang berdendang di dalam mobil.

Saat mereka melewati sebuah apotek. Reina langsung berkata "Pak bisa berhenti bentar? Saya mau pergi beli obat"

Mario lalu menghentikan mobilnya. Wajahnya masih terlihat dingin.

Mario menunggunya di dalam mobil. Tidak berapa lama Reina kembali dengan barang bawaan yang banyak.

"Ini untuk Anda." Reina memberikan sekaleng minuman isotonik.

Mario lalu menerimanya. "Terimakasih"

"Saya yang harusnya berterimakasih Pak" kata Reina saat sudah duduk kembali di tempatnya. "Karena anda sudah mengantar saya sampai sejauh ini. Kalau bole saya tau kenapa Anda mau mengantar saya?"

"Tidak apa. Saya kebetulan ada urusan di daerah sana"

"Ohh.. kalau begitu nanti turunkan saja saya di persimpangan jalan besar yang ada disana. Nanti saya bisa naik ojek. Jadi Bapak kan bisa mengurus urusan Bapak"

"Bisa hentikan memanggilku dengan panggilan Bapak? Kenapa kesannya aku ini sudah tua?"

"Kan memang sudah seharusnya saya memanggil Bapak seperti itu. Tidak sopan kalau saya sembarangan memanggil bapak"

Mario sedikit kesal mendengar sebutan Bapak. "Ya sudah terserah kamu deh. Cepat katakan saja alamatnya. Akan aku antar sampai di depan"

"Tidak usah. Saya segan merepotkan Anda"

"Sudah. Katakan saja" Mario memaksa.

"Baiklah" Reina lalu mengatakan alamat yang dia tuju. Ia sengaja tidak mengatakan secara detail rumah Mamanya. Ia hanya sekedar mengatakan jalannya saja.

Tidak berapa lama sampailah mereka di depan rumah Mama Reina. Setelah berterimakasih, Reina lalu turun dari mobil Mario.

Reina langsung menekan bel rumah. Karena dia tidak punya kuncinya.

Di dalam mobil, Mario masih menatap Reina. Setelah memastikan pintu rumahnya terbuka. Ia baru menghidupkan kembali mesin mobilnya.

Saat itu ia melihat ada sesuatu yang jatuh. Ternyata itu ponsel Reina yang mungkin terjatuh dari tasnya karena tadi ia sedikit kesulitan karena barang bawaannya lumayan banyak.

Mario lalu turun dari mobilnya. Ia segera ikut masuk ke dalam rumah.

Reina yang kaget ada yang menarik pundaknya langsung berbalik. Hingga posisi wajah mereka begitu dekat.

"A.. ada apa?" tanya Reina yang bingung melihat Mario terlihat buru-buru.

"Ini ponselmu ketinggalan"

"Ohh.. makasih"

"Kamu bawa teman ya Rei. Ayo masuklah dulu" kata Mama Reina ramah. Walau wajahnya terlihat sangat pucat.

"Tidak bisa Ma. Dia masih ada urusan" bantah Reina.

"Aku bisa singgah sebentar kok" kata Mario sebelum dirinya diusir dari sana.

Mama Reina tersenyum.

"Ma.. pelan-pelan. Aku pegangi tangan Mama ya" Reina lalu memapah Mamanya duduk diatas sofa. Mario ikut duduk di sofa yang ada di seberangnya.

"Ma.. aku ambilkan minum ya. Mama mau minum obat kan"

"Iya"

Reina lalu bergegas ke dapur.

"Kamu.. namamu siapa nak? Kenapa sepertinya aku pernah melihatmu?" tanya Mama Reina pelan.

"Namaku Mario Bu"

"Oh iya Mario ya. Kalau tidak salah kamu teman Reina yang amnesia itu kan?"

Mario tidak menjawab. Hanya tersenyum.

"Tapi kamu tampak sangat berbeda sekarang. Kamu terlihat sangat tampan dengan balutan jas" puji Mama Reina.

"Tidak kok Bu. Saya masih sama seperti dulu." Mario terlihat canggung.

"Oh ya, Kamu ini apanya Reina?" tanya Mama Reina lagi.

"Dia itu atasanku" jawab Reina yang baru kembali dari dapur.

"Ohh.. pantas saja."

Mario hanya mengangguk.

"Ini Bu.. makan dulu obatnya" Reina menaruh obat dan air minum di depan Mamanya.

Saat Mamanya minum. Reina langsung menarik Mario.

Mario yang tidak mengerti lalu mengikuti Reina.

Kini Reina sudah membawa Mario sampai ke pintu depan.

"Ada apa?" tanya Mario bingung.

"Tampaknya urusanmu sudah selesai disini" jawab Reina ketus.

"Apa maksudnya? Kamu mengusirku?"

"Iya. Aku mengusirmu dengan tidak hormat"

"Kenapa?"

"Atas kebohonganmu padaku. Ternyata selama ini kamu pura-pura tidak mengenalku padahal kamu ingat semuanya." Reina menatap tajam pada Mario.

"Kenapa kamu berasumsi seperti itu?"

"Pertama kamu bersikap seolah-olah kamu peduli padaku karena aku ini hanya karyawanmu. Kedua aku tidak mengatakan secara detail rumah ini. Tapi kamu bisa mengantarku sampai kesini. Ketiga tadi aku mendengar percakapan kalian. Dan kamu mengatakan bahwa kamu masih sama seperti dulu. Itu maksudnya apa? Apa menurutmu membohongiku itu sangat menyenangkan?"

"Tidak Rei. Dengarkan dulu"

"Cukup Rio. Aku harap hubungan kita kedepannya hanya atasan dan bawahan. Jadi silahkan Anda pulang"
Reina dengan cepat mendorong tubuh Mario dan menutup pintunya.

"Aduh aduh.." jerit Mario saat lengannya kejepit pintu.

Reina langsung menarik pintunya dan tangan Mario terlepas. Dengan cepat Reina mendorong tangan Mario dan menutup pintunya keras.

"Dasar. Aku kira dia berbaik hati ingin menolongku tadi. Ternyata dia keras kepala juga" oceh Mario karena harapannya bahwa Reina mengkhawatirkannya tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Reina bahkan tidak membiarkan Mario untuk pamit sebentar pada Ibunya.

Dengan kesal ia masuk ke dalam mobilnya.


******

Teman-teman.. maaf ya ada keterlambatan mengupdate cerita ini. Semoga semuanya masih terus menantikan kelanjutan ceritanya ya. 😊❤️



Selfish LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang