Disappointed

214 15 6
                                    

Dari jauh ia melihat pintu lift terbuka. Ia segera berlari.

"Semoga ia sempat masuk ke dalam" batinnya.

Ia langsung menahan pintu lift yang hampir tertutup itu dengan tangannya. Pintu lift kembali terbuka.

Dan Reina mematung melihat orang yang sedang berdiri di depannya. Kini pandangan mata mereka pun beradu.

Reina tidak dapat mempercayai pandangannya. Memang benar ia tidak salah lihat. Mario lah bos mereka selama ini. Hanya saja Mario tampak berbeda dengan saat terakhir kali Reina melihatnya.

Rambutnya tidak berantakan lagi seperti dulu. Kini rambutnya sudah tersisir rapi keatas. Wajahnya yang dulu tidak begitu terurus juga sudah tampak bersih. Tidak terlihat lagi ada kumis tipis yang mengelilingi dagunya. Baju kaos yang dulu dipakainya juga sudah berganti menjadi setelan jas yang rapi. Ia tampak sangat menawan.

Tapi raut wajahnya terlihat tidak ramah sama sekali. Pandangan matanya dingin menatap Reina.

"Kamu tidak jadi masuk?" suara Sarah menyadarkannya yang sedang mematung menatap Mario. Sampai mengabaikan keberadaan Sarah yang ada di samping Mario.

"Ahh ya.. aku mau masuk" Reina langsung masuk. Ia menundukkan kepalanya gugup.

"Dokumennya sudah kamu copy semua ya?" tanya Sarah lagi.

"Sudah Bu.."

"Langsung antar ke ruang rapat saja ya. Sebentar lagi rapat sudah akan dimulai" perintah Sarah.

"Baik Bu"

Sesuai perintah Sarah, Reina mengantar fotocopy dokumen itu.

Dengan malas ia mengelap meja rapat itu sebelum menaruh dokumen itu disana. Ia menghela nafas lesu.

Tidak berapa lama, semua kepala divisi masuk dan duduk di tempat mereka masing-masing. Reina lalu membagikan dokumen yang sudah dia copy kepada mereka.

Di belakang menyusul Mario dan Sarah.

Lagi-lagi Reina bertemu mata dengan Mario. Tetapi tetap dibalas dengan pandangan yang dingin dari Mario.

Reina kemudian memalingkan wajah. Ia segera memberi dokumen itu pada Mario dan Sarah. Ia lalu membungkuk dan keluar dari sana karena tugasnya sudah selesai.

Reina berjalan gontai ke ruangannya. Ia langsung menyandarkan kepalanya diatas meja.

"Kamu kenapa?" tanya Mimi yang melihat Reina tidak bersemangat.

"Tidak apa"

"Aku tau.. dia pasti tegang sekali berhadapan dengan bos dan para kepala divisi itu" jawab Anita yang mendekat ke arah mereka.

"Ya begitulah.." gumam Reina.

"Relax saja. Sudah berlalu kok"

"Tapi apa memang bos kalian itu seperti itu ya?" tanya Reina.

"Maksudnya??" Mimi tampak tak mengerti.

"Ahh aku tau. Kamu pasti bilang bos sangat cool kan?!" celutuk Anita.

Reina mengangguk.

"Bos memang orang seperti itu. Kamu tau tidak apa julukan bos kita?"

"Apa memangnya?" tanya Reina lagi.

"Pangeran es" bisik Anita.

"Oh ya?!" Reina menaikkan ujung bibirnya.

"Iya. Kamu kan baru masuk. Tentu saja kamu tidak tau"

"Tapi justru karena dia dingin begitu. Dia tampak sangat keren. Benar-benar seperti oppa korea. Apalagi wajahnya juga sangat tampan." Puji Mimi dengan mata berbinar.

"Kamu ngefans ya sama dia?" tanya Reina datar.

"Tentu saja. Siapa juga yang di kantor yang tidak ngefans padanya. Kamu juga kan Nit?"

"Betul.. betul. Bos adalah the real oppa yang ada di kehidupan nyata. Tentu saja kita ngefans dong"

"Ohh" jawab Reina masih tidak bersemangat.

"Jadi kamu sendiri sudah melihat langsung masa kamu tidak ngefans?"

"Entahlah.."

"Pasti dia ngefans juga. Hanya dia malu mengakuinya." tawa Anita.

"Tapi yang aku kesalkan itu si Sarah. Asik ngekor aja dia di belakang bos." geram Mimi.

"Jangan-jangan kalau bos ke WC, dia ikut juga kali ya" timpal Anita.

Mereka berdua lalu tertawa. Reina hanya diam. Ia tidak fokus mendengar apa yang mereka katakan.

****

Sorenya, Reina tidak langsung pulang. Ia duduk di taman sendirian.

Angin sepoi yang berhembus meringankan perasaannya yang berkecamuk.

Ia menghela nafas panjang.

"Katanya kalau kamu menghela nafas panjang begitu, umurmu bakal berkurang satu tahun lo.." suara seseorang di belakang mengagetkannya.

Reina langsung berbalik. Ia menatap lelaki itu heran.

"Kenalkan aku Willy. Kita satu divisi. Hanya saja kita tidak pernah berbicara sama sekali. Mungkin kamu tidak begitu ingat padaku" katanya ramah.

"Ohh.. aku ingat.. kamu kan yang duduk diujung ya.." terka Reina.

"Iya.. Aku sering memperhatikanmu. Kamu tampak tidak terlalu heboh seperti Mimi dan Anita"

Reina tertawa. "Kalau mereka berdua kan memang heboh terus."

"Jadi kamu sedang apa disini?"

"Hanya duduk menikmati angin"

"Kalau begitu kamu tidak keberatan kan kalau aku duduk bersamamu disini" tunjuknya pada kursi panjang yang kosong disamping Reina.

"Silahkan"

Mereka lalu berbincang-bincang. Willy bahkan menawari Reina untuk makan malam bersama. Tetapi di tolak Reina dengan sopan.

Reina masih ingin menenangkan dirinya.

Sesampainya di apartemen, ia langsung merebahkan dirinya.

Reka demi reka kejadian saat bertemu dengan Mario terputar ulang di benaknya. Seketika airmata kekecewaan mengalir dari pelupuk matanya.

Walaupun Reina berharap Mario tidak mengenalinya dengan ia merubah rambutnya. Tapi melihat Mario yang benar-benar tidak mengenalinya sama sekali entah kenapa membuat hatinya terasa pedih.

Reina juga tidak mengerti dengan perasaannya. Kenapa ia harus kecewa seperti ini.

"Dasar Mario brengsek. Kenapa dia bahkan tidak mengenaliku sama sekali? Apa dia amnesia lagi?! Ya kalau dia lupa padaku saat dia amnesia. Setidaknya ingat dong dulu pernah satu sekolah denganku" ocehnya kesal sambil mengusap airmatanya dengan kasar.

"Ya sudahlah. Biarlah hari ini aku menangis sepuasnya. Kelak besok aku tidak akan meneteskan lagi airmata untuknya. Kalau dia lupa padaku. Aku juga akan lupa padanya." kata Reina dengan tekad kuat.

Selfish LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang