48. NIGHTMARE

215 15 2
                                    

☯HAPPY READING☯

Di lorong rumah sakit yang sepi akibat dari larutnya hari, tiga manusia menunggu cemas. Tampak si gadis menangis sesenggukan di pelukan sang bunda, sementara si pria mondar-mandir tak tentu arah.

Ini sudah lebih dari 3600 sekon, tapi seolah itu belum cukup, dokter masih enggan keluar memberi keterangan. Mungkin sengaja, agar yang di luar hidup dalam kegelisahan.

Entah berapa doa yang sudah dirapalkan oleh si gadis dengan rambut sedikit berantakan itu. Berharap sang terkasih dapat bertahan setelah kecelakaan yang terjadi tepat di depan mata. Potongan-potongan kecil peristiwa mengenaskan itu terus terputar, berulang-ulang seperti kaset rusak yang menyebalkan.

"Mama, aku takut," lirih si gadis gemetar.

Sang bunda mengelus punggung si gadis lembut, menyugesti semua akan baik-baik saja. Sang ayah pun sama, memberitahu bahwa si lelaki yang tengah ditangani akan selamat.

Ceklek

Dokter keluar dengan menampilkan guratan lelah di wajah. Meminta sang kepala keluarga pergi menuju ruangannya untuk memberikan info mengenai kondisi Rafael.

Tepat setelah mereka berdua pergi, suster keluar sambil membawa sebuah catatan yang tak Soraya ketahui isinya. Dengan ragu Soraya menghentikan langkah suster tersebut. "Apa saya sudah boleh menjenguknya?"

Suster itu tersenyum simpul lalu menggeleng pelan. "Maaf kondisi pasien masih belum stabil." Setelah kalimat itu selesai dilontarkan suster pun pergi meninggalkan sepasang ibu dan buah hati.

Soraya menghela napas kecewa. Ia berbalik, mengintip kondisi lelaki yang terbaring lemah dari kaca pintu. Tetes tirta bening itu mulai terasa saat hati mengatakan bahwa ia terlalu sakit akan keadaan.

Dini menepuk pundak Soraya pelan yang membuat gadis itu menoleh. Dini merentangkan tangan dan membawa Soraya ke dalam pelukannya. "Mama tau ini tidak mudah untukmu sayang, Mama yakin semuanya akan baik-baik saja nanti."

Soraya merasakan pelukan Dini semakin erat ketika bahu mamanya bergetar. Tangan mungil Soraya mengelus bahu mamanya pelan dan membalas pelukan Dini lebih erat. Ini bukan hanya sulit untuk dirinya, tetapi juga untuk orang tuanya.

"Rafael?"

Soraya tertegun melihat Rafael yang berdiri di depannya. Bukankah ia sedang terbaring tadi? Ah, bukankah ini yang ia tunggu. Rafael terlihat lebih tampan dengan setelan jas putih yang melekat.

"Hey, Dear. Kenapa kamu tertegun? Ayo pergi bersamaku!" Rafael mengulurkan tangannya sambil tersenyum teduh.

Soraya membalas senyuman itu sama teduhnya. Mengikuti kemana Rafael membawanya pergi. Keduanya tampak serasi dengan setelan berwarna putih. Bahkan Soraya tidak tau menahu kenapa dia mengenakan dress yang cantik dengan mahkota bunga yang indah.

Gadis dengan mahkota bunga itu tak bisa menyembunyikan keterkagumannya saat dihadapkan dengan air terjun besar di seberang mata. Lihatlah, arus mengalir deras, air jernihnya menggenang menampilkan dasar sungai yang indah. Kemudian tengoklah ke selatan, air terjun setinggi tiga puluh meter itu berdiri, meluncurkan air deras nan menyejukkan.

"Indah sekali."

"Kamu ingin mahkota yang lebih cantik dari ini?"

Si gadis menaikkan sebelah alisnya, bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba. Setelah si laki-laki mengulang pertanyaannya, barulah dia mengangguk.

"Jika begitu, tunggu aku di sini. Aku akan membawakan apa yang kamu inginkan."

Si taruna terhenti, padahal dia baru mendapat lima langkah pertama. Nampaknya, si gadis yang menahan. Kentara dari raut takut di wajah manis itu.

RAFAELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang