22. (NEVER) GIVE UP

331 29 13
                                    

Apa yang ada dipikiran kalian saat membaca sub judulnya?

All I Want - Kodaline🎶

Sabi nih baca sambil puter lagu yang aku saranin, biar feel-nya lebih dapet.

☯HAPPY READING☯

Ketika waktu menunjukkan pukul delapan malam, Rafael baru saja menapakkan kakinya ke lantai dingin rumah. Seragamnya yang terbalut jaket sudah tak lagi rapi, sehingga kaos hitam yang dia pakai terlihat dengan jelas.

Perlahan Rafael masuk ke dalam rumah itu. Bisa ia simpulkan ada kehidupan di sana karena secercah sinar menerangi ruang tamu, dan juga ruang lainnya. Netra gelapnya bergulir menatap sang Mama yang tengah sibuk berkutat dengan laptop, tidak ketinggalan setumpuk berkas-berkas yang tidak Rafael ketahui isinya.

"Assalamualaikum, El pulang!" Suara berat Rafael menggema ke seluruh penjuru ruangan.

"Waalaikumsalam." Rini menoleh sekilas lalu kembali mengerjakan pekerjaannya.

Rafael merasakan perlakuan dingin mamanya. Jujur saja Rafael sedikit bingung sekaligus takut, sebab perempuan itu kembali mendiamkannya setelah dua hari yang lalu Rafael meminta maaf atas kejadian ayahnya. Meski dirinya penasaran setengah mati, Rafael tetap tak berani menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.

"Kekacauan apa yang kamu perbuat bersama anak tak tau aturan itu?" Rini berseru dingin tanpa intonasi, bahkan menatap Rafael pun tidak.

Rafael berdecak. "Mama, sudah berapa kali El bilang kalau mereka itu tidak seburuk yang Mama kira. Mereka anak baik, bukan anak yang tak tau aturan."

Rini mendongakkan kepala sembari menutup laptop. Matanya menyorot nyalang pada sang buah hati. "Berani mengelak?! Jangan mengada-ada El, semenjak kamu bergaul dengan mereka kamu jadi seperti ini! Tidak terkendali dan sangat keras kepala!" bentak Rini.

Rafael tersentak mendengar bentakan itu. Dalam kamusnya, Rini hanya melakukan itu dalam hitungan jari. Bahkan Rafael berani bertaruh, selama tiga tahun terakhir Rini tak pernah membentaknya. Yah, untuk kejadian di malam bersama sang ayah adalah sebuah pengecualian. "Aku memang seperti itu, Ma."

Rini menarik sebelah alisnya. Janggal dengan bahasa yang Rafael ucapkan. "Mama membesarkanmu lebih dari sepuluh tahun, Mama tau persis kamu keras kepala tapi Mama tak pernah melihatmu lepas kendali. Kamu tau, itu keterlaluan."

Setelah kalimat itu terlontar, banyak sekali kalimat lain yang berderet mengikuti. Selama dua menit penuh, Rini terus menyudutkan Rafael, mengatakan banyak hal tentang keburukan Rafael, tentang kekecewaannya pada Rafael. Padahal tanpa sadar, hal itu juga membuat kekecewaan pada Rafael ikut terbentuk. Laki-laki itu sebenarnya sama rapuhnya, tapi Rini tak berusaha merengkuh, malah semakin giat menghancurkan pertahanannya.

"Ma! Sifat El juga terbentuk karena lingkungan keluarga kita! Keluarga kita hancur, El hancur, sifat El juga ikut hancur!" Seharusnya kalimat itu disampaikan dengan penuh sarat terluka dan menyedihkan, tapi Rafael malah menyampaikannya dengan nada tinggi.

"Lihat! Sekarang kamu selalu membantah Mama! Kamu sering berbicara dengan nada tinggi terhadap orang tua kamu! Kamu bahkan berani memperlakukan Papa kamu seperti kemarin!" Perempuan paruh baya itu malah semakin menyudutkan, seolah tak peduli dengan kalimat penuh luka yang Rafael lontarkan. Pikirannya telah dipenuhi oleh asumsi bahwa Rafael masuk ke dalam pergaulan yang tidak benar.

Rafael menahan emosinya sekuat tenaga. "Mama jangan pernah sangkut pautkan teman-teman El dengan sikap El yang sekarang. Memang itu semua berpengaruh terhadap sikap El, tetapi Mama tidak bisa menuduh mereka yang bukan-bukan!"

RAFAELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang