45. PRECIOUS DAYS

183 16 2
                                    

☯HAPPY READING☯

Pukul tiga dini hari Rafael masih terjaga. Matanya memerah dengan jejak tangis yang masih terlihat di pipi. Sudah lebih dari sepuluh jam, tapi sang ibu masih setia tidur seolah malam begitu panjang. Senyum samar terlukis di wajah Rafael, lalu beranjak mengecup kening ibunya penuh sayang.

"Mama cepet bangun, ya? Memangnya Mama nggak kangen sama, El?"

Hening, itu yang terus dirasakan Rafael. Dia memang berbicara dengan mamanya tetapi selalu dibalas oleh kesunyian yang menyesakkan. Jemarinya bergerak meraih ponsel yang tergeletak tak tersentuh sejak tadi, sekedar mengecek siapa saja yang menghubungi.

Banyak sekali pesan masuk, banyak panggilan tak terjawab. Namun, tak ada satupun yang Rafael jawab atau setidaknya membuka pesan. Malam ini terlalu melelahkan untuk bergaul dengan orang lain.

Rafael menidurkan kepalanya di samping bangsal sang mama, matanya menatap Rini lembut. Perlahan kelopak matanya mulai tertutup dan Rafael amblas ke alam bawah sadarnya.

Sosok wanita itu mengerjap pelan, menatap sekitar lambat seolah tengah melakukan slowmotion. Matanya mengerjap-erjap, berusaha beradaptasi dengan cahaya sekitar. Kemudian ia merasakan sebuah nyeri luar biasa yang menyerang kepala saat menggerakkannya barang sedikit.

Dia berusaha menggerakkan tangan yang digenggam oleh seseorang. Matanya melirik ke bawah lalu sebuah kurva tipis terbentuk di labium pucat itu. Dia membuka mulut berniat memanggil, tapi suaranya seolah hilang ditelan bumi.

Senyumnya semakin melebar melihat orang tersebut menggeliat pelan. Dia mengerjap lalu menguap. Ya itu Rafael, yang tertidur karena menjaga Mamanya semalaman.

"Akhirnya Mama sadar juga, ada yang sakit nggak? Bilang sama Rafael ya kalau sakit." Wajah bantal Rafael berubah menjadi lebih ceria.

Rini masih mempertahankan senyumnya lalu menggeleng perlahan. "Kenapa Mama di sini?"

"Mama kecelakaan, tapi kata dokter nggak apa-apa kok," jawab Rafael cepat.

Rini mengangguk walau sebenarnya dia tidak terlalu ingat tentang kejadian naas itu. "Maaf, Mama membuatmu khawatir."

"Ini bukan salah, Mama." Rafael menggeleng cepat. "Mama mau El panggilin dokter supaya tau bagaimana perkembangan Mama?"

"Nggak usah, kamu cukup di sini aja temenin Mama," jawab Rini tersendat-sendat.

Rafael mematuhi permintaan ibunya. Dia memutuskan untuk memberikan beberapa pertanyaan ringan yang hanya dijawab oleh kode wajah atau kode kepala oleh Rini. Terkadang Rafael juga menyelingi pertanyaannya dengan cerita miliknya.

Waktu berjalan begitu cepat sampai akhirnya suster datang membawakan makanan untuk Rini. Rafael menyambut suster tersebut dengan senang hati lalu mengambil nampan berisi makanan. Dia melayangkan senyum setelah suster tersebut pamit undur diri.

"Mama makan dulu ya!" Rafael sibuk mengatur bangsal ibunya.

Rafael meniup sesendok bubur yang masih panas lalu menyuapkannya pada Rini. Rini menjauhkan wajahnya ketika sudah makan beberapa suap. Semua makanan rasanya pahit itu sebabnya dia tidak ingin makan lagi.

"Ayo, Ma, makan lagi! Biar Mama cepat sembuh," kata Rafael.

Rini menggeleng lemah sebagai balasan. Rafael tersenyum tipis lalu meletakkan mangkuk bubur itu pada tempatnya, dia mengambil segelas air putih dan membantu Rini minum.

"Permisi, Mas. Saya akan mengecek kondisi pasien terlebih dahulu," kata Dokter yang entah kapan sudah muncul di tengah-tengah pintu.

"Oh iya, sebentar." Rafael mendekatkan dirinya pada telinga Rini. "Ma, Rafael pulang dulu buat ganti baju yah. Rafael janji bakal cepat kembali. Baik-baik di sini ya, Ma! Rafael sayang Mama." Sebelum pergi Rafael memberikan kecupan singkat di pipi lalu mempersilahkan dokter untuk memeriksa kondisi Mamanya.

RAFAELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang