44. INEFFABLE

203 18 4
                                    

Ineffable adalah perasaan yang tidak dapat dideskripsikan

☯ HAPPY READING☯

Rafael tiduran di pangkuan mamanya. Dia menatap layar televisi bosan, sesekali mengecek ponsel ketika ada notifikasi masuk. Rafael menatap wajah mamanya yang tampak serius melihat sinetron hits di televisi.

"Ma, kenapa sih cewek tuh suka nonton sinetron sama drama-drama kayak gitu?" tanya Rafael sambil menoel dagu Rini.

Rini menundukkan pandangan, senyumnya mengembang ketika melihat wajah kesal Rafael. "Seru tau, El. Kamu sih kerjaannya nongkrong sama motoran doang, mana tau rasanya geregetan karena sinetron." Setelah berkata demikian Rini berseru keras karena adegan kekerasan yang dilakukan oleh watak antagonis di televisi.

"Apa gunanya coba nonton gituan? Paling alurnya mirip, Ma," protes Rafael.

"Ada gunanya tau. Nonton drama atau sinetron itu bukan sekedar buat nyari hiburan, tapi kita juga harus tau makna tersirat yang ada di dalamnya," jawab Rini bijak.

Rafael mengangguk membenarkan. "Tapi ...," Rafael menghentikan kalimatnya, "nggak jadi deh."

"Tapi kenapa? Kamu cemburu karena dikacangin Mama?" Rini terkekeh geli.

Rafael menggeleng cepat bak anak kecil yang menolak ditawari sesuatu.

Rini tersenyum simpul melihat kelakuan Rafael yang ingin dimanja. Meskipun Rafael tidak menunjukkan maksudnya, tetapi Rini paham betul Rafael ingin diperhatikan.

Fokus Rini berpindah pada ponsel yang berdering di sampingnya. Rafael mendongak, memperhatikan ibunya yang tengah berbicara dengan orang di seberang. Pada menit ke tiga, bibir Rafael melengkung turun saat tau ibunya akan ditugaskan ke dunia antah berantah.

"El, besok Mama ada tugas ke luar kota. Kamu di rumah baik-baik ya!" Rini meletakkan ponselnya, mengelus surai Rafael yang masih bertengger manis di pahanya.

Rafael menggeleng spontan, dia masih ingin bermanja-manja dengan ibunya. "El kan baru saja keluar dari rumah sakit, masak Mama mau ninggalin El? Memangnya Mama tega?"

"Tentu saja Mama tidak tega, tapi sayang, ini proyek besar bagi perusahaan tempat Mama bekerja. Ini penunjang hidup kita. Lagipula kamu masih bisa menghubungi Mama, kan? Gaya banget manja-manja gini, biasanya juga nggak peduli." Rini tersenyum simpul, sedikit tekikik geli saat menambahkan candaan di akhir.

"Malah bercanda. Jangan pergi ya, Ma? Besok El masakin menu andalan El deh. Oke?"

"Maaf, El, Mama harus pergi. Besok suruh Soraya atau Leon menemanimu ya?! Mama janji nggak bakal lama." Rini mengelus surai kecoklatan anaknya lembut.

Dengan berat hati Rafael menuruti ucapan Rini, berusaha mengabaikan perasaan aneh yang tiba-tiba menguasai hatinya.

Rafael duduk di kursi ruang makan sambil menatap Rini yang tengah mengolesi selai pada roti tawar.

"Mama jadi ke luar kota?" Pertanyaan itu kembali terlontar dari bibir Rafael. Entah yang berapa kalinya dia menanyakan hal ini.

"Iya sayang," jawab Rini geregetan karena sedari tadi hanya itu pertanyaan yang dilontarkan. "Mama kan sudah jelasin semuanya, kamu kenapa sih sikapnya jadi manja gini. Mama heran loh."

"El pun nggak ngerti." Rafael menggelengkan kepalanya lalu menyantap roti yang disiapkan Rini.

Rafael mengusap sisa susu yang menempel di bibir lalu membenarkan posisi tasnya. Dia mencium tangan Rini sebelum berangkat sekolah. Mulai hari ini dia diperbolehkan untuk mengendarai motornya sendiri. Asiikkk!!!

RAFAELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang