49. IS THIS END?

244 15 8
                                    

☯HAPPY READING☯

Gadis yang tengah duduk bersender di ranjang itu sekilas seperti mayat hidup. Bibirnya pucat, dengan mata sayu tanpa semangat apapun. Rambutnya berantakan, tapi kenyataannya si otak lebih berantakan.

Setelah datangnya mimpi itu, kondisi Rafael semakin memburuk, membuat Soraya tidak lagi bisa berpikir jernih. Nafsu makannya hilang, mungkin selaras dengan semangatnya untuk hidup.

"Makan dulu ya sayang!" Ibunya datang membawa nampan lengkap dengan makanan.

"Taruh di meja aja, Ma! Nanti Soraya makan."

Dengan menghela napas samar, Dini meletakkan nampan itu. Dia menatap anak gadisnya sejenak, lalu duduk di sampingnya. "Sini mama peluk."

Soraya menyambut uluran tangan itu, kemudian menyembunyikan kepalanya di balik pelukan sang ibu. Ia biarkan pikirannya melanglang buana lagi, mencari-cari arti mimpi mengerikan yang datang tiga hari lalu.

Kemudian pikiran abstrak itu mulai terganti oleh rasa pedih yang mendalam, mengingat kondisi si terkasih. Baginya Rafael adalah salah satu alasan yang membuatnya masih ingin hidup. Lelaki itulah yang menemani hari-harinya dengan tawa.

"Ma, Rafael kapan bangun?" Dia berbisik, tapi lagi-lagi hanya jawaban tak pasti yang datang. Selalu begitu, sampai dirinya muak untuk terus berharap bahwa Rafael akan baik-baik saja.

Bicara soal menjenguk Rafael, sampai sekarang Soraya masih belum melakukannya. Dia tidak siap, dia tidak tega melihat kekasihnya terbaring lemah di sana, walau sebenarnya ia sangat ingin.

Bahkan sampai saat ini, hatinya masih diselimuti rasa bersalah yang tebal. Dia adalah kunci dari kemarahan Rafael, dia adalah penyebab laki-laki itu terbaring tak berdaya di rumah sakit, walau itu berarti secara tidak langsung. Kenapa kisahnya menjadi serumit ini?

"Sayang, kamu tidak ingin menjenguk Rafael? Dia pasti menunggumu di sana."

Mungkin ini sedikit kurang ajar karena Soraya baru saja menapakkan kakinya di rumah sakit lagi, setelah empat hari mengurung diri di rumah. Entah mengapa saat ini langkahnya gemetar, terlebih setelah sampai di depan ruang rawat Rafael.

Lorong itu sepi, hanya terlihat satu dua kali suster yang lewat. Namun, Soraya merasa lebih baik, setidaknya tidak akan ada yang melihatnya gemetar di depan ruang rawat Rafael.

Akhirnya setelah berperang dengan diri sendiri, Soraya memutuskan untuk maju. Semerbak obat yang memuakkan langsung tercium saat pintu terbuka. Gadis itu tak lagi bisa menahan air matanya saat melihat Rafael terbaring tak berdaya dengan berbagai jenis alat medis yang menempel di tubuh. Dengan gemetar, gadis itu meraih tangan Rafael yang bebas dari selang infus, mengusapnya perlahan.

Gadis itu mengusap air matanya kasar, tidak ingin terlihat lemah di depan sang terkasih. "Kenapa kamu tidak kunjung bangun, hm?"

Rasanya percuma untuk menahan semua air mata itu, karena bukannya berhenti malah semakin deras mengalir. Isakannya semakin keras ketika bayang-bayang Rafael tertabrak terputar otomatis di memorinya.

Gadis itu jatuh di lantai, membiarkan lantai rumah sakit yang dingin menusuk tulang. Dia gunakan tangan kurus itu untuk menutupi air mata serta meredam isakan yang tak ingin berhenti. Memikirkan Rafael saja sudah membuatnya tersiksa, apalagi melihatnya dalam keadaan seperti ini? Bolehkah ia mati saja daripada melihat kekasihnya lemah tak berdaya?

Kebenaran itu terungkap sedikit terlambat. Seharusnya mereka berdua tau sebelum menjalin hubungan. Tetapi siapa yang bisa disalahkan atas semua ini?

Bahkan takdir pun tak pantas untuk disalahkan.

Dengan kekuatan yang tersisa Soraya kembali bangkit. Menyibak rambut Rafael yang menutupi matanya pelan. Dia tersenyum miris melihat plester yang tertempel di pelipis Rafael.

"Aku akan menunggumu sampai bangun nanti." Soraya membisikkan kata-kata itu di telinga kanan Rafael. Setelah itu mengecup kening kekasihnya dan pergi. Untuk saat ini dia belum sanggup menatap Rafael dalam keadaan seperti itu terlalu lama.

Soraya membuka kenop pintu ruang rawat Rafael, entah untuk keberapa kalinya. Terhitung sudah satu minggu Rafael terbaring di sana, dan selama itu pula belum ada tanda-tanda si taruna akan terbangun.

"Kamu nyenyak banget tidurnya, nggak mau ketemu aku, hm? Sombong banget." Soraya mengajak Rafael berbicara, kata dokter itu bagus untuk merangsang alam bawah sadar pasien.

"Kamu inget nggak saat kita jalan-jalan ke pantai Anyer? Aku pengen kayak gitu lagi sama kamu." Tangannya mengelus pipi Rafael yang memiliki luka gores, sementara labium delima itu membentuk kurva tipis.

"Aku minta maaf karena kemarin-kemarin nggak mau jenguk kamu." Gadis itu menunduk dalam.

"Aku minta maaf karena nggak bisa menahan kesedihanku di depanmu."

Nyatanya, tidak perlu lebih dari lima menit, pertahanan Soraya pasti telah hancur ditandai dengan air matanya yang sudah meluncur. Entah kapan Soraya akan berhenti menangis ketika sudah sampai di ruangan ini, bahkan dia berani bertaruh air matanya akan mengering setelah keluar dari sini.

"Aku kangen sikap manja kamu."

"Aku kangen melihat senyumanmu."

"Aku kangen semuanya Rafael. Aku mohon bangun." Soraya menundukkan kepalanya dalam-dalam. Bahunya bergetar hebat lalu menggigit bibir bawah untuk meredam isakan.

Soraya tidak sanggup menunggu lebih lama lagi. Setiap bangun tidur hanya satu nama yang ia pikirkan. RAFAEL ADITYA. Soraya selalu berharap kalau besok adalah hari yang ia tunggu-tunggu. Berharap Rafael akan membuka matanya setelah sekian lama tertidur. Tetapi hari itu tak kunjung datang, membuat Soraya semakin tersiksa oleh harapannya sendiri.

"Aku takut kehilanganmu."

Soraya terkejut ketika tangan si taruna bergerak dalam genggamannya. Dia menyeka air mata, menatap tangan yang kini telah ia lepaskan. Senyum Soraya mengembang sempurna melihat mata Rafael yang bergerak pelan. Akhirnya hari ini datang.

"Rafael?" panggil Soraya pelan.

Si taruna masih berusaha membuka mata, lalu sekon berikutnya dia berkedip sebentar guna menyesuaikan sinar yang masuk. Oh, ruangan putih apa ini? Apakah dirinya sudah mati?

"Rafael, kamu denger suara aku, kan?"

Lalu bias suara itu membuat si lelaki sadar bahwa dirinya masih memiliki nyawa. Meski masih linglung, Rafael tau persis itu adalah Soraya, gadisnya. Namun, entah mengapa rasanya berbeda. Dia malah menatap gadis itu tak suka, lalu berusaha menggerakkan bibirnya yang terasa kaku.

"Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar juga!" pekik Soraya senang lalu memeluk Rafael erat.

"Pergi!" Rafael akhirnya bersuara.

Satu kalimat yang diluncurkan dengan sangat pelan dan dingin itu menembus pendengaran Soraya dengan jelas. Pelukannya meregang, senyumnya perlahan memudar. Dia menatap kekasihnya tak percaya. "Kamu ingin aku pergi?"

"Keluar!"

Satu kata itu keluar dengan sangat lirih, bahkan Soraya yakin jika suasana tidak dalam keadaan hening, tidak akan ada yang bisa mendengar. Namun, dengan kata itulah, dunianya hancur dalam sekejap.

Apakah ini akhir baginya?

☯TO BE CONTINUED ☯

Chapter-Chapter ini memang agak mengandung bawang bund. Semoga feel-nya sampe ke kalian🤧

SUMPAH HARUS KOMEN, AKU KEPO KALIAN BACANYA SAMPAI MEWEK ATAU NGGAK😭

VOTE JANGAN LUPA BUND, WAJIB SHARE CERITA INI KALAU SUKA!!

RAFAELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang