58. THE LAST CHAPTER

801 31 5
                                    

☯HAPPY READING ☯

Satu hari setelah hakim mengetuk palu sebagai tanda putusan untuk si pelaku tabrakan sang ibunda, Rafael memilih untuk mendatangi rumah baru milik sang tahanan. Tak perlu waktu lama polisi datang dengan orang yang dimaksud, memberi instruksi sekejap sampai akhirnya meninggalkan Rafael dengan sang tahanan seorang.

Hening masih diberi kesempatan untuk memenuhi ruang sampai akhirnya Rafael memutuskan untuk membuka cakap lebih dahulu. "Kenapa lo lakuin ini semua?"

Dengan senyum miring tanpa rasa bersalah, si tahanan menjawab, "Sebab satu-satunya cara untuk mengalahkan lo adalah dengan melukai titik terlemah lo Rafael. Lalu siapa? Itu ibu lo sendiri."

Rafael tahu sudah ada hukum negara yang diciptakan khusus untuk mengurus manusia bejat seperti Arka—musuh abadinya yang menjadi pelaku dibalik tabrak lari sang ibu—tapi tidak bisa dipungkiri bahwa amarah yang bersarang di hati belum bisa menghilang. Seandainya bisa, ia ingin membunuh laki-laki itu, membayar nyawa sang ibu dengan nyawa. Sebab hukuman yang Arka dapatkan tidak ada apa-apanya dibanding rasa kehilangan orang tersayang.

"Sayangnya, lo yang kalah." Dengan nada yang tenang dan sorot mata mengintimidasi, Rafael menimpali. Sehingga memunculkan reaksi kepalan erat tanda emosi dari pihak lawan.

Rafael lantas tersenyum sarkas, puas karena lawan di hadapan terpancing penuh dalam kalimatnya.

"Yang ditakdirkan kalah akan selamanya kalah mau sebaik apapun jalan yang lo ambil. Terima kasih atas perlakuan lo ke gue, seenggaknya gue tahu kalau gue lebih unggul dari lo. So, gue tunggu kehadiran lo di alam bebas nanti. Baik-baik ya di sini, semoga pas udah balik nanti bisa berubah kayak kyai, bukan penjahat lagi." Rafael berdiri, memberi senyum singkat dan lambaian tangan sebelum akhirnya keluar dari ruangan.

Laki-laki itu memacu langkahnya begitu cepat setelah menyelesaikan perbincangan menyesakkan antara dirinya dan musuh bebuyutan. Sepanjang jalan, Rafael hanya mampu menunduk berusaha menghalau air mata yang dengan kurang ajarnya memberontak ingin keluar.

Semenjak ia diberi kabar atas pelaku dibalik kecelakaan ibundanya, Rafael tidak pernah tenang. Setiap hari ia hanya ingin menangis mengingat pelaku yang membuat ibunya celaka adalah orang yang sangat membencinya. Bahkan sebelum sang polisi menjelaskan motif si pelaku, Rafael sudah mampu menafsirkannya dengan jelas. Singkatnya, sang ibunda dijadikan target oleh sang pelaku karena dirinya. Menyedihkan.

Sayangnya kehidupan Rafael di hari Kamis ini tidak semulus yang ia kira. Saat dirinya hendak pulang untuk bergelung dengan suasana kelabu, ponselnya bergetar menandakan sebuah panggilan masuk. Rafael menggeser tombol hijau sembari menerka-nerka siapa gerangan nomor asing yang menghubunginya di hari yang kelabu ini.

"Assalamualaikum, Rafael. Ini Dini."

Rahangnya mengeras tanpa aba-aba saat suara itu menyapa pendengaran. Sedetik kemudian dia menghela napas berat, berusaha untuk tidak bereaksi berlebihan kepada perempuan yang masih dibencinya.

"Waalaikumsalam. Ada perlu apa?"

"Bisakah kita bertemu sekarang? Ada yang perlu saya bicarakan."

Rafael berdehem mendengar kalimat yang membuatnya deja vu dengan pertemuan Soraya tempo lalu. Apa ini? Bahkan cara mereka untuk membuat janji pun sama.

"Baiklah, beritahu lokasinya saja."

Sebenarnya Rafael sangat enggan bertemu siapapun hari ini, tapi mengingat Dini mengontaknya secara pribadi, pasti ada hal penting yang ingin disampaikan. Lagipula jika ia menolak, wanita itu pasti akan memaksanya sampai Rafael setuju.

RAFAELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang