07. RUMAH YANG HANCUR

592 48 1
                                        

☯HAPPY READING

Di tempatnya Rafael semakin tidak kuat menahan amarah beserta beribu-ribu kekecawaan. Dua orang di depannya semakin menebar keromantisan membuat dirinya semakin sakit. Tangannya terkepal erat, giginya bergemeletuk, dengan langkah yang menggebu-gebu dan kilatan amarah yang kentara di matanya, Rafael menghampiri sepasang kekasih itu.

"Good job, Pa."

"RAFAEL?!" Laki-laki yang lebih tua menunjuk Rafael terkejut.

"Aku kira Papa beneran meeting, eh ternyata sibuk sama dia. Nggak nyangka banget ya, Pa." Rafael menatap ayahnya sembari tersenyum lebar berusaha sekuat mungkin untuk menyembunyikan luka.

"Papa jelasin sem–"

"Shut up! Aku kecewa sama Papa!" Rafael berbalik, membawa perasaan kecewa beserta amarahnya.

Sang ayah mengusap wajahnya kasar, dan wanita tadi tampak gelisah di tempat seperti pencuri yang tertangkap basah.

"Bagaimana ini, Mas?" tanya wanita itu sembari menggigit bibir bawahnya.

"Tenang saja." Sang Adam mengelus bahu si hawa guna meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Tanpa memikirkan tujuan awalnya, Rafael memilih pergi dari tempat itu. Rasanya sangat tidak memungkinkan kalau dia harus mengikuti rapat dalam keadaan kacau seperti ini. Kaki jenjangnya melangkah cepat, otaknya menyuruh bahwa ia harus cepat pergi dari tempat keparat ini. Rafael segera mengeluarkan motornya dari parkiran kemudian melesat pergi dengan kecepatan di atas rata-rata.

Di sini, di tepi sungai yang tak jauh dari sebuah taman, Rafael mengentikan motornya. Pelan kakinya melangkah, membawa cowok itu menuju pohon semanggi yang ada di tepi sungai. Tempat ini adalah salah satu tempat yang sering dijadikan tempat berkumpul Rafael dengan keluarganya waktu kecil dulu.

Kepalanya mendongak, menatap langit malam yang gelap tanpa gemintang maupun rembulan. Pikirannya tak luput dari kejadian di cafe tadi, Rafael berani bertaruh ia tidak akan bisa melupakan kejadian itu sekuat apapun ia berusaha melupakannya.

"Kenapa papa lakuin itu ke mama?" Dari sekian banyaknya pertanyaan yang hinggap di kepala Rafael, hanya pertanyaan itu yang paling dominan muncul dan mengganggu pikirannya.

Rafael tidak bisa menjelaskan bagaimana perasaannya saat ini, rasa sakit dan kecewanya terlalu pekat sehingga ia tidak bisa merasakan apapun. Rafael kalut, tak habis pikir bagaimana rasanya jika nanti sang ibu tau apa yang telah ayahnya lakukan.

Laki-laki itu merenung cukup lama. Terlalu terkejut dengan hal yang baru saja ia saksikan. Belasan tahun Rafael hidup bersama orang tuanya, dan selama itu pula Rafael mengira bahwa hubungan kedua orang tuanya baik-baik saja.

"Apa sebenarnya mereka sudah tidak baik-baik saja sejak lama?" Pertanyaan yang lain muncul kembali dan menjadi tanda tanya yang tak Rafael ketahui jawabannya.

Rafael melihat arlojinya, pukul setengah sebelas. Namun, Rafael belum ada niatan untuk pergi dari tempat itu. Tangannya tergerak mengambil ponsel yang sedari tadi ia biarkan bergetar. Tanpa melihat kontaknya pun ia sudah tau pelaku yang terus menelpon.

"Halo?" ucap Rafael sesaat setelah sambungan terhubung.

"Lo dimana anjing?! Pergi nggak bilang-bilang dikira kita nggak khawatir apa?!" Rafael menjauhkan ponselnya sebab terkejut dengan seruan di seberang.

"Sorry, ada urusan mendadak gue nggak sempet ngabarin." Akhirnya kalimat itulah yang Rafael gunakan untuk menyembunyikan hal yang tengah terjadi sebenarnya.

RAFAELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang