10. LEBIH DEKAT

309 24 0
                                    

☯ HAPPY READING☯

Pelan Soraya menghampiri Keyla yang kini sedang mendengarkan musik. Setelah meletakkan tasnya, Soraya menepuk pundak Keyla agak keras yang membuat empunya menoleh dan melepaskan earphone.

"La, em ... sorry. Berkasnya ada di Rafael," ucapnya sedikit ragu dan merasa bersalah.

Mendengar itu Keyla mengerutkan keningnya seolah bertanya 'kok bisa?'

Soraya menghela nafas lalu menceritakan kejadian selepas pulang sekolah kemarin, walau tak detail.

"Hah! Lo gak apa-apa kan, Ray? Huhu maaf ya gara-gara gue lo jadi begitu kemarin." Keyla menarik badan Soraya lebih dekat, mengecek, takut jika temannya terluka.

Soraya menjauhkan tangan sahabatnya dengan hati-hati. "Gue baik-baik aja kok. Maaf, malah jadi nambah masalah lo," sambungnya tak enak hati.

"Seharusnya gue yang minta maaf karena bikin lo begini, Ray, Sorry ya."

"Ish ya ampun, nggak apa-apa sumpah. Kenapa kita jadi tukar maaf." Soraya tertawa guna mengakhiri suasana kurang mengenakkan itu.

Kini Soraya dan Illy tengah berada di depan ruang guru. Keduanya menunggu Keyla yang tadi dipanggil oleh Bu Anis. Soraya menggigit ujung bibirnya, takut kalau masalah Keyla ada kaitannya dengan yang kemarin.

Keyla keluar dengan ekspresi tak tertebak. Tanpa menunggu komando, Illy dan Soraya langsung menghampirinya.

"Lo disuruh ngapain?" tanya Illy penasaran.

"Oh, Bu Anis nanya berkas yang kemarin," jawabnya, sedikit takut menyinggung Soraya.

Mendengar itu Soraya kembali dihantui rasa bersalah, dengan segera ia meraih tangan Keyla."La, sorry ya! Gara-gara gue lo dipanggil ke ruang guru."

Keyla tersenyum simpul. "Nggak apa-apa, ini juga salah gue yang kurang bertanggung jawab. Bu Anis bilang, dikumpulin besok juga bisa."

Meski dijawab begitu, Soraya tetap tak bisa membuang rasa bersalahnya jauh-jauh. Bagaimanapun juga, dia sudah berjanji kemarin. "Gue minta maaf ya! Nanti gue bilang ke Rafael."

Seraya kembali ke kelas, Soraya sesekali memanjangkan lehernya, menengok kesana-kemari berharap bertemu Rafael. Dalam hati ia menggerutu kesal, sebab cowok itu tak kunjung memunculkan batang hidungnya.

Di sisi lain, Rafael tengah berusaha menahan hasrat untuk bermain game online. Penjelasan guru bahasa inggris yang tak dimengerti penuh olehnya membuat Rafael bosan. Namun, bukan hanya Rafael yang seperti itu, ketiga sahabatnya juga nampak asik sendiri di bangku mereka. Hanya Leon, satu-satunya anak yang fokus mendengarkan penjelasan guru, maka tak heran jika dirinya yang paling pandai di antara keempat sahabatnya.

Ketika guru memberi perintah untuk mengerjakan latihan, barulah Rafael berniat mengeluarkan buku tulisnya. Namun, hal itu urung sebab sebuah map hijau yang terselip rapi diantara buku-bukunya.

Rafael mengingat-ingat apa yang membuat map hijau itu ada di dalam tasnya. Di detik setelahnya ia langsung berdiri, menyambar map hijau itu dan pergi keluar setelah mendapat izin.

"Assalamualaikum permisi, Bu!"  Tak perlu waktu lama, Rafael sudah sampai di pintu kelas Soraya.

Sejurus dengan kedatangan Rafael, bisik-bisik tak penting mulai mengisi langit-langit kelas. Mengabaikan itu semua, sang guru yang tengah mengajar langsung menghampiri Rafael yang berdiri di tengah pintu.

"Ada apa, Rafael?"

"Saya bisa bicara sebentar dengan Soraya?" bisik Rafael supaya tidak terdengar oleh siswa-siswi di kelas ini.

Guru tersebut nampak berpikir sebentar sebelum akhirnya memanggil Soraya untuk keluar.

"Soraya kamu dipanggil Rafael."

Mendengar itu Soraya langsung melangkah keluar setelah tersenyum simpul kepada gurunya. Tatapan dari semua siswa terlihat menahan Soraya untuk pergi, tentunya mereka kepo apa yang akan Soraya dan Rafael bicarakan.

Kini mereka berdua duduk di depan kelas Soraya. Gadis itu menunggu laki-laki di depannya berbicara lebih dulu.

"Ini yang lo titipin kemarin," kata Rafael seraya memberikan map berwarna hijau itu.

"Lo lama banget sih! Gue jadi nggak enak sama Keyla, gara-gara lo dia jadi dipanggil sama Bu Anis tau!" omel Soraya seraya merebut map hijau itu.

"Bukannya bilang makasih malah ngomel." Rafael mendengus sebal.

"Ya siapa suruh lo lama!" sembur Soraya garang.

"Kan gue lupa."

"Ya udah makasih, gue masuk dulu," ujar Soraya cuek seraya berjalan masuk. Namun langkahnya terhenti saat lengannya dicekal oleh Rafael.

"Ntar pulang bareng gue!" Setelah mengucapkan itu Rafael pergi meninggalkan Soraya yang masih mematung, mencerna kalimat Rafael.

Soraya berjalan santai menuju mobil merahnya sambil menyenandungkan lagu yang tersalur melalui earphone. Seketika dia berhenti saat mendapati Rafael tengah bersender di pintu mobilnya.

"Ngapain lo di sini?" tanya Soraya seraya menyimpan earphone-nya ke dalam saku.

"Tadi lo denger kan?" Datar Rafael.

Soraya diam sejenak, berpikir apa yang membuat Rafael ada di samping mobilnya.

"Tapi kan gue nggak bilang ma–"

"Gue nggak butuh jawaban, mana kuncinya? Pegel gue berdiri di sini." Rafael memotong kalimat Soraya dan menjulurkan tangannya.

Dengan pasrah Soraya menyerahkan kunci mobil kesayangannya kepada Rafael. Dia memutari kap mobil dan duduk di kursi samping kemudi.

Sampai setengah perjalanan belum ada yang mau membuka pembicaraan. Rafael sibuk menyetir dan Soraya memilih memandang jalanan kota yang ramai.

"Raf, Eung ... Ngapain lo kekeh banget mau nganter gue pulang?" tanya Soraya penuh penasaran.

"Gue nggak mau kejadian kayak kemarin terulang lagi," jawab Rafael jujur.

"Cie khawatir ya sama gue?" goda Soraya dengan senyuman evil. Tapi percayalah hatinya sangat senang seperti tengah terbang ke langit ketujuh.

"Nggak juga," balas Rafael datar. Bagi Rafael anak SMA Cakra Mandala adalah orang yang patut ia lindungi, sebab mereka merupakan temannya, keluarganya, dan itu salah satu misi dari terbentuknya Lucifer.

Soraya menghela nafas, mengalihkan pandangan ke jalanan luar. Sepertinya Soraya salah mengambil langkah, seharusnya dia tidak menggoda Rafael seperti tadi agar dia tidak berharap lebih.

Rafael tersenyum tipis melihat Soraya yang sedang ngambek, menggemaskan. Entah kenapa, Rafael merasa ada sebuah magnet di dalam diri Soraya yang membuatnya selalu tertarik ke dunia gadis itu.

"Udah jangan kesel gitu! Iya, gue khawatir sama lo." Kalimat yang Rafael lontarkan sukses membuat Soraya langsung menoleh.

"Kenapa khawatir?" tanya Soraya cepat.

"Karna gue pengen lebih deket lagi sama lo," jawab Rafael serius tapi pandangannya menatap lurus ke depan. Memang benar Rafael mengatasnamakan misi Lucifer saat menyelamatkan Soraya, tapi gejolak hatinya tak bisa berbohong kalau ia benar-benar khawatir.

Soraya memalingkan wajah, menyembunyikan gurat kemerahan yang timbul karena malu. Bolehkah dia ge-er kalau Rafael naksir padanya? Bolehkah ia percaya diri kalau suatu saat dia akan menjadi pacar Rafael? Huh kenapa rasanya sebahagia ini mendengar Rafael mengucapkan hal tadi?

☯TO BE CONTINUED ☯

Tetep stay sama work aku ya! Konfliknya masih ringan kok.

Kalau suka vote⭐
Kalau kurang menarik silahkan komen💬
biar aku tau kekurangannya dan bisa langsung di perbaiki.
Maaf jika masih ada yang salah setelah revisian ini
Thanks semua.

RAFAELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang