08. PERPISAHAN

472 45 2
                                    

☯ HAPPY READING☯

Rini turun diikuti Rafael setelah mereka sampai di rumah yang baru. Rafael mengambil koper di bagasi, dan membawanya masuk setelah Rini membuka pintu. Rafael melihat sekeliling, menilai desain interior rumah barunya.

"Rafael, kita tinggal di sini sekarang." Rini tersenyum tipis seraya menarik koper miliknya.

Rafael mengangguk mengerti. "Ma, kamar El dimana?"

"Di atas," jawab Rini sambil menunjuk pintu di ujung tangga.

Mereka berdua pindah ke rumah yang dibeli oleh Rini. Rumah ini berlantai dua, desainnya sederhana dan tidak terlalu luas. Sangat berbeda dengan rumah yang sebelumnya mereka tinggali.

Rafael menaiki tangga yang akan membawanya menuju kamar tidurnya sekarang. Rafael berhenti di depan pintu berwarna coklat yang ada di ujung tangga, memutar kenop pintu lalu masuk. Ia meletakkan kopernya di samping lemari, kemudian merebahkan tubuh di atas ranjang barunya.

Rafael menatap langit-langit kamar sendu. Rafael tak pernah membayangkan jika hal yang ia takutkan benar-benar terjadi, dan lebih parahnya Rafael melihat kedua orang tuanya bertengkar hebat di depan matanya sendiri.

Rafael sangat marah dan kecewa dengan papanya. Dia merasa kalau sang ayah bukanlah papa yang selama ini dia banggakan. Rafael sungguh tak menyangka. Mata Rafael memerah menahan bulir bening yang berdesakan ingin keluar dari sudut matanya. Dia menutup mata berniat untuk tidur, di saat yang bersamaan setetes air matanya mengalir tanda bahwa kenyataan ini membuat Rafael sangat terpukul.

Di sisi lain, keempat sahabat Rafael berkumpul di kantin. Mereka terlanjur lelah menghubungi Rafael sehingga memilih menikmati waktu sebelum jam pelajaran usai.

"Eh anak kelas 10 ada yang ngejar-ngejar gue tau." Andre menyunggingkan senyum bangga.

"Siapa?" respon Daniel malas.

"Arsya," jawab Andre yang masih saja tersenyum.

"Yang nanya!" Daniel langsung membalas jawaban Andre dengan cepat kemudian menjulurkan lidahnya tanda mengejek.

"Lo mah laknat banget sama gue, nggak pernah ikhlas kalau gue seneng dikit!" Andre menggerutu.

"Dan, saudara lo jangan digituin kasihan," celetuk Elang yang diiringi dengan kekehan kecil.

"Idih gue saudaraan sama dia? Lebih baik gue saudaraan sama ikan!" balas Andre bergidik jijik.

"Ya udah sono lo ke aquarium nyusul ikan!" kata Leon dengan wajah flat-nya. Diikuti dengan gelak tawa Daniel dan Elang.

"Wah parah lo, Le! Mana nyukup dia di aquarium, baiknya diempang noh!" Daniel tambah terpingkal-pingkal.

"Wah bajingan semua temen gue!" umpat Andre kesal seraya menengil ketiga sahabatnya.

"Kalau Arsya ngejar lo diam aja." Leon kembali ke topik awal.

Andre mengerutkan kening, tak mengerti dengan jalan pikiran Leon. "Lah kok diam aja si, Le? Kan mau gue tembak."

"Awas mati!" goda Elang.

"Lah kok lo nyumpahin orang sih?!" Andre tersulut emosi. Dia bangkit dari duduknya, ingin menerkam Elang.

"Kan lo tadi bilang 'tembak' ya gue jawab mati lah!" Elang menjawab Andre dengan nada tinggi.

Andre memberikan kepalan tangannya di depan muka Elang, tapi tak berniat memukul laki-laki itu. Netranya beralih menatap Leon, meminta penjelasan akan pertanyaannya tadi. "Maksudnya 'gue diam aja' itu gimana?"

RAFAELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang