42. RUANGAN PUTIH

352 20 5
                                    

☯ HAPPY READING

Arka menggeram kesal melihat tawanannya kabur. Dengan sekali gerakan, dia mengambil senjata yang disembunyikan di balik jaketnya. Dengan senyum penuh kemenangan, lengan jenjang itu mengulur lurus, matanya fokus mengunci target. "Lo nggak akan pernah lolos dari gue Rafael."

DOR!

"Argh."

Rafael pikir ini adalah detik terakhir sebelum dia kehilangan nyawa ketika darah bercucuran bak air terjun keluar dari lengannya. Memang bukan area vital, tapi kesadarannya seperti tengah diambil perlahan-lahan dengan rasa sakit yang menjalar cepat ke seluruh tubuh.

"Astaghfirullahaladzim, Rafael!" Soraya memekik keras, panik menguasai tubuhnya melihat lengan itu terus berdarah. Dengan bergetar takut, Soraya mengalungkan lengan Rafael yang tak terluka itu pada lehernya.

"Ku mohon tahan sebentar lagi," gumam Soraya sambil menangis.

"Maaf, aku merepotkan mu, dear." Rafael memaksakan suaranya yang lirih itu untuk keluar. Semakin lama kesadarannya kian menipis dan kakinya makin lemas.

Arka tertawa penuh kemenangan melihat Rafael yang kesakitan. Dia segera berdiri ketika nyerinya sudah mendingan lalu berlari menghadang jalan Soraya.

"Hei hei, jangan buru-buru! Mari kita bermain denganmu." Arka mengelus dagu Soraya.

Soraya terus menghindari sentuhan Arka dan berusaha membawa Rafael keluar, akan tetapi Arka berdiri tepat di tengah-tengah pintu membuat Soraya tak bisa keluar.

"Minggir!" bentak Soraya ketus.

"Astaga, biasanya lo bakal manja-manja sama gue," kaget Arka yang terlihat dibuat-buat.

Soraya urung membentak Arka ketika Rafael kembali merintih sakit. Gadis itu semakin panik lagi takut. Dia tidak ingin kehilangan Rafael dengan cara seperti ini. Namun, bagaimana caranya mengusir Arka dari sini? Tuhan, tolong aku.

Dor!

Suara tembakan itu mengagetkan tiga oknum yang masih bersitatap di tengah pintu bangunan tersebut. Soraya tersenyum lebar melihat teman Rafael datang dengan sejumlah polisi di sana.

"Bangsat," umpat Arka mencoba kabur.

Belum sampai mengambil langkah, Arka sudah lebih dulu tertangkap dan diborgol. Polisi membawa Arka secara paksa ke dalam mobil karena terus saja memberontak. Sebelum masuk, Arka sempat melayangkan tatapan penuh emosi pada Rafael.

Meski buram, Rafael bisa melihat keempat sahabatnya berlari menghampiri. Dengan sisa tenaga, Rafael memaksa bibir pucatnya membentuk lengkungan tipis sampai akhirnya Rafael tumbang dalam rangkulan si gadis.

Gadisnya yang tak bisa menjaga keseimbangan pun ikut jatuh. Dia menangis histeris menepuk-nepuk pipi Rafael, memaksa kekasihnya untuk sadar.

"Rafael aku mohon jangan pergi dulu!"

Keempat teman Rafael tak kalah terkejut. Mereka semakin mempercepat langkah. Leon dan Daniel yang lebih dulu sampai segera menggotong Rafael ke mobil Leon. Mereka berenam segera berangkat ke rumah sakit, membawa seluruh rasa bersalah karena terlambat membantu sahabatnya.

Daniel sibuk menenangkan Soraya yang terus menangis di depan ruang operasi, Leon pun tampak kewalahan melayani Rini yang terus memberontak ingin masuk. Elang dan Andre tampak gelisah di kursi tunggu. Semuanya berdoa agar operasinya berjalan lancar.

Lampu tanda operasi telah padam, tangisan-tangisan yang semula melanglang buana pun sedikit tertahan. Enam insan yang menunggu dengan cemas itu segera mengerubungi dokter yang baru saja keluar.

RAFAELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang