34. PENYELIDIKAN

197 17 1
                                    

☯HAPPY READING☯

Ketika seorang pria paruh baya berseragam dengan jubah putih itu keluar dari ruangan Zidan, semuanya menatap was-was. Terutama ibu Zidan yang matanya sudah berkaca-kaca.

"Keluarga pasien atas nama Zidan?" Mendengar itu Keisya langsung mendekat.

"Begini Ibu, alhamdulillah pasien tidak mengalami luka yang cukup serius. Hanya saja tangan kanannya cidera, mungkin butuh sedikit waktu untuk pulih. Pasien sudah sadar, silahkan jika Ibu ingin menjenguk. Saya permisi." Setelah berkata begitu dokter tersebut pergi.

Selang infus tergantung di tangan kiri Zidan, begitupun selang oksigen yang membantunya bernafas. Dahinya yang sebelah kiri tertutup oleh plester.

"Sayang, kamu sudah merasa lebih baik?" Keisya langsung mengelus rambut Zidan lalu mengecup kening anaknya.

Zidan mengangguk lugu sembari tersenyum lebar. "Jangan khawatir, Ma. Aku pasti cepet sembuh."

Keisya tersenyum penuh arti melihat anaknya yang begitu baik dalam membuat dirinya menjadi lebih tenang. Zidan tumbuh menjadi anak yang baik dan tidak suka mengeluh. "Tentu. Kamu pasti cepat sembuh."

Di luar, Rafael dan teman-temannya berkumpul. Menunggu Zidan dan ibunya yang tengah bercengkrama di dalam. Dari tempatnya kini, suara dari dalam hanya terdengar sayup-sayup, meski begitu Rafael tahu benar dengan interaksi hangat antara keduanya.

"Mama tinggal sebentar ya? Mau ngobrol sama temen kamu." Setelah Zidan mengijinkan, Keisya mengecup kening anaknya dan keluar.

"Rafael, bisa bicara sebentar?"

"Iya, Tante," jawab Rafael tegas sembari mengekori ibu Zidan.

"Lo nggak apa-apa, 'kan, bro?" Sepeninggal dua orang itu, Gilang masuk untuk menyapa sahabatnya.

"Lo tolol apa gimana sih? Lo nggak liat muka ganteng gue diplester kayak gini?" jawab Zidan sambil menunjuk dahinya dengan tangan kiri.

"Halah, muka obral aja bangga," cibir Gilang.

Mari kita ikuti perbincangan Rafael beserta Keisya. Keduanya memilih berbicara di lorong rumah sakit yang sepi.

"Rafael, saya minta tolong sama kamu untuk mencari dalang di balik kecelakaan Zidan." Keisya mengatakan maksudnya.

"Dengan senang hati, Tante. Saya bakal membongkar ini semua secepat mungkin," balas Rafael mantap.

Keisya tersenyum lalu menepuk pundak Rafael pelan. "Saya percaya sama kamu. Kalau ada sesuatu atau membutuhkan bantuan kabari saya saja. Terima kasih Rafael, saya kembali ke Zidan." Setelah berkata demikian, Keisya pergi meninggalkan Rafael sendiri.

Rafael kembali ke tempat teman-temannya berkumpul. Dia tersenyum tipis melihat gadisnya yang tengah menunggu dengan senyum manisnya. Sial, jadi lupa kalau gadisnya itu masih di sini.

"Tante Keisya bilang apa ke kamu?" tanya si gadis.

"Dia ingin aku menyelidiki semuanya."

Soraya tersenyum tipis, ia tau Rafael pasti merasa bersalah atas hal ini meskipun bukan dia pelakunya. "Semangat, El. Akan aku bantu meringankan tugasmu."

Rafael menggeleng lalu mengelus bahu Soraya lembut. "Nggak, perlu, Dear. Ini tugas aku, dan aku nggak mau kamu ikut terlibat."

"Nggak apa-apa, aku seneng kok bisa bantu kamu," tegas Soraya.

"Jangan, ini bahaya." Rafael tersenyum simpul. "Ayo aku antar pulang."

Soraya membiarkan Rafael menariknya menuju parkiran rumah sakit. Sejujurnya ia sedikit kecewa karena tidak diizinkan untuk membantu Rafael. Apakah membantumu itu salah, Rafael? batin Soraya sedih.

RAFAELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang