"Kalau sampai minggu depan kamu masih duduk di sini, aku bakal nge-charge biaya sewa kantor bulanan."
Derit kursi dan bayangan Yogamaya yang menghalangi berkas sinar matahari ke permukaan keyboard membuyarkan kalimat dalam kepalaku. Aku termenung sebentar sebelum menyambutnya dengan senyum. Keluhannya atas diriku yang kembali menjadikan Kenang Maya sebagai tempat persembunyian bahkan mengantre di antara pikiranku, menyela di antara berbaris rekam memori yang menjadi jajaran kalimat dalam layar laptop.
Yogamaya duduk di seberang meja. Tersenyum. Seolah tidak punya apa-apa lagi untuk sekadar berbasa-basi. Senyumku jadi tawa geli melihat wajahnya yang kehabisan kata-kata.
"Sudah kutulis ... dalam blog ...," ujarku akhirnya, mencoba memberinya topik spesifik.
Yogamaya manggut-manggut. Andai ada segelas kopi di tangannya, ia pasti sudah menyeruputnya sebagai peralihan. Namun kali ini ia hanya tersenyum lebih lebar.
"Kamu udah lama nggak nulis di blog."
"Memangnya kamu baca blog-ku, Mas?"
Yogamaya angkat bahu, "Kalaupun enggak, Tantra bakal tiba-tiba nempelin layar hapenya ke mukaku."
Aku terkekeh. Aku bahkan tak tahu dua orang yang menyarankanku untuk menuliskan apa pun yang mengganggu pikiranku dalam blog bakal mengikutinya dengan sungguh-sungguh.
"Blog itu kan yang bikin kamu kenal sama Banyu ...."
Senyumku mengering. Sedikit saja, seperti ujung celana yang basah oleh gerimis singkat, namun segera kering karena dibawa terus berjalan.
"Benar juga .... Sekarang mungkin aku menulis yang terakhir."
"Jangan, dong ...." Yogamaya cepat menyergah, "Masak cuma gara-gara ditinggal pergi, kamu berhenti nulis?"
"Ya sudah ... Tentang Winter, ini yang terakhir. Yang lainnya, kita lihat nanti."
Aku tertawa kecil. Kedua mataku beralih pada draft tulisan yang lebih terasa seperti dongeng aneh yang masih asing di kepalaku. Deretan kata-kata di layar laptop terasa seperti hadiah kecil yang belum kubungkus, namun masih tetap mengagetkan. Seolah hadiah itu bukan pemberianku, tapi hadir untuk sebagai kejutan untukku.
"Dia sudah pamitan sama kamu?"
***
Banyu menepati janjinya. Di hari ia keluar dari rumah sakit dan memutuskan untuk pulang sendiri naik taksi, ia betul-betul mengabari kalau ia sudah sampai rumah. Tak cukup dengan pesan singkat, ia mengirimkan foto pantulan dirinya di jendela rumah yang sudah berdebu. Setelah itu, tak banyak kabar darinya.
Banyu menghindariku. Setiap kutanya kabarnya, ia akan menjawab jujur apa adanya, tapi tak menyisakan obrolan lain untuk mengalir. Saat aku mengajaknya bertemu, ia akan berdalih ada pekerjaan lain. Entah itu lemburan atau alasan yang aku yakin kubuat-buat. Aku hanya beberapa kali bertemu dengannya di hotel saat Banyu bertugas untuk pekerjaan renovasi di sana. Banyu selalu lebih dulu pamit undur diri sebelum aku membuka topik di luar pekerjaan. Setelah beberapa lama, aku tak lagi mencari-carinya.
Aku harus cukup puas mendengar kabar Banyu dari MJ. Sahabatnya itu bilang, Banyu sedang berusaha menenangkan diri. Pekerjaan menumpuk selama kekacauan batinnya, dan ia berusaha menata ulang hidupnya. Sean juga bercerita kalau Banyu masih dengan tekun menjenguk Sandar di Rumah Sakit meski hanya untuk bertemu sebentar dengannya dan Mama Sandar. Ia masih canggung untuk menemui Sandar yang sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa. Hanya dari cerita mereka aku tahu bahwa Banyu berubah jadi lebih dingin dan masa bodoh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romance"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...