"Kamu nggak ada rencana balas dendam?"
Aku dan Tantra yang mencuri dengar kalimat Yoya hanya bisa berpandangan dan menahan tawa. Kami pura-pura menikmati gorengan tahu kornet buatan Tantra sisa makan malam tadi, padahal khidmat menguping menyimak curhatan Banyu pada Yoya dari kejauhan.
Sebelumnya suara mereka hanya seperti gumaman yang bersahutan. Tapi aku dan Tantra terlalu penasaran dengan apa yang akan mereka bicarakan hingga akhirnya pindah posisi duduk di meja ini, meja terdekat dengan bar dimana Banyu sengaja kubawa untuk berbincang dengan Yogamaya. Kupikir Yogamaya akan memberinya nasihat bijak sebagaimana yang biasanya ia lakukan. Tapi sepertinya tidak dengan hari ini. Sisi usil yang terkubur dalam tubuh bapak-bapak tukang bengong itu bangkit untuk kisah kacau yang Banyu bawa.
Awalnya Banyubiru mengelak. Sudah cukuplah ia curhat padaku, tak perlu orang lain mengetahui kondisi mengenaskannya. Ia tak ingin kisahnya menjadi konsumsi lebih banyak orang.
Untuk keputusannya itu aku mengiyakan saja. Hanya sedikit menyelipkan pesan bahwa mengobrol dengan Yogamaya biasanya bisa membantuku menentukan pilihan ketika aku terlalu bimbang dengan keadaan.
Kupikir jawaban iya Banyubiru malam itu hanya untuk menutup topik. Tapi sepertinya Banyubiru memikirkannya selama beberapa lama hingga akhirnya menghubungiku dua sore berikutnya, di jam pulang kerja, di sela-sela semangat lemburnya yang pupus berkat bayangan pengkhianatan Sandar yang enggan memudar.
"Misalnya ...," kudengar Yogamaya mendenguskan tawa singkat dari hidungnya, "bawa lima orang buat ngewe di depannya ...."
Tantra mendelik. Ia yang tadinya menyimak saran-saran Yoya untuk Banyu dengan tekun mendadak emosi. Dengan cepat ia melempar gumpalan tisu bekas minyak di atas meja ke arah Yoya.
"Apa? Kamu nguping?" Yogamaya terkekeh, menyampirkan serbet ke bahunya seperti orang mau mandi.
"Jangan ngajarin yang nggak bener, dong!"
"Kan aku cuma tanya ...."
Aku menoleh. Di depan mataku, Banyu yang semula duduk sendu di bar, kini memasang tampang bergidik. Ia mungkin kaget mendengar saran ekstrem itu. Atau malah shock, karena Yogamaya yang selama ini ia kenal kalem dan kebapakan malah punya ide jahat seperti itu.
"Ya itu kan pilihan ... Terserah kamu juga mau balas atau nggak. Kalau mau balas, ya silakan ... kalau nggak, ya boleh saja ...."
"Jangan! Nggak usah ikut-ikutan kaya si gondrong ini! Pendendam!"
"Oh ... Ada yang mengungkit masa lalu nih ceritanya? Haha."
Sudut bibir Banyu terangkat. Ia mulai tertawa pendek-pendek mendengar Tantra dan Yogamaya berdebat. Semakin riuh mereka saling melempar aib, semakin padat tawa Banyu menyelingi perang mulut diantara keduanya.
Saat itu, ujung bibirku yang ikut menyungging senyum beku pada ingatan lampau tentang adegan serupa. Pada pemandangan dan riuh suara yang mirip.
Suara Yogamaya dan Tantra, juga suaraku dan Van.
Rasanya sudah lama sekali semenjak aku mendengar argumen dan sindiran saling menimpal diantara kami berempat. Mulutku sudah bertahun bungkam dalam senyum beku melihat Yogamaya dan Tantra ribut, tanpa ada tandem sepadan menyaingi keributan mereka.
Dahulu, selalu ada suara yang lekat melengkapi ujung kalimatku. Menyambutnya dalam ide seirama tanpa perlu aku mengungkapkannya. Dahulu, selalu ada tawa yang menutup lubang canda bermakna kabur, tanpa perlu kami menyepakatinya. Seperti Yogamaya dan Tantra, kerlingan mata kami cukup untuk bertukar tawa, bertukar pesan, bertukar ide-ide gila.
Tanpa sadar kenangan beraroma rindu itu membuat kedua mataku hinggap pada bening mata itu. Kedua Mata Banyubiru yang tengah tenggelam oleh tulang pipi tertawanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romance"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...