[Banyubiru] Tersisih, Menyisihkan

400 89 18
                                    

Pintu lift sampai menutup beberapa lama sebelum akhirnya aku memutuskan keluar dari sana. Hari ini aku sudah boleh pulang dari rawat inap. Aku memutuskan untuk menjenguk Sandar yang masih terbaring di ICU dengan alasan 'sepantasnya saja'. Jika mau menuruti ego dan rasa maluku, aku memilih pulang. Tapi dia ada di sana karenaku, dan sebaiknya aku setor tampang sebentar pada Mamanya. Iya, kan?

"Ah, Banyu ... You're such a good boy ...." helaku menyindir diri sendiri saat melihat ruang tunggu pasien tampak agak ramai. Jam besuk pagi belum lama dimulai, tapi sudah ada beberapa tamu yang tampak berkumpul. Kenyataan bahwa aku melawan kehendakku untuk cepat pergi saja dari tempat ini membuatku takjub sendiri.

Aku menyela di antara pembesuk lainnya, mencoba masuk dan menemukan bilik penunggu pasien yang terpisah jauh dari ruang ICU, berada di sisi lain gedung. Keluarga pasien tak diperkenankan masuk ke ruang ICU kecuali diijinkan. Selama jam besuk, kami hanya boleh melihat dari jendela kaca dekat ranjang pasien. Itu sebabnya aku memberanikan diri menginjakkan kaki kemari, karena aku tahu aku tak perlu melihat Sandar. Paling aku hanya bertemu dengan ....

"Mas Banyu ngapain kesini?"

Nah. Anak ini.

Sean kelihatan baru keluar dari salah satu bilik kamar. Dari situ aku tahu kalau ada Mama Sandar di dalam sana. Kudengar, Sean memang berjaga bersama Mama Sandar meski sudah berulang kali diminta pulang saja.

"Bukan mau ketemu kamu," jawabku singkat, membuatnya mendelik kaget.

Mungkin ia tak akan menyangka kalau aku akan meresponnya seperti itu. Banyubiru yang ia kenal adalah laki-laki sopan yang akan dengan santun memberi salam dan merasa tak enak dalam situasi ini. Tapi entahlah ... ada sedikit rasa kesal yang membuatku malas beramah-tamah dengannya ketika reaksinya melihatku saja seperti itu.

Aku tahu, sikapnya menjadi seperti itu sejak malam itu. Ia tak pernah datang lagi ke kamarku ketika jam makan siang. Jelas-jelas ia marah sekali setelah memergoki apa yang aku dan Angga lakukan di sana.

"Kamu kok tega, sih, mas ...? Sandar masih begini, kamu malah-"

"Sean. Dengar." Aku berdiri lebih dekat, tak ingin orang lain mendengar ucapanku. "Memangnya kamu nggak tahu aku sudah bukan siapa-siapa Sandar? Kami udah nggak ada hubungan apa-apa lagi. Jadi terserah aku mau cium siapa, mau making out sama siapa. Mau sama sepupu kamu kek, atau sama orang lewat juga ... Bukan urusan kamu."

Sean melotot. Kekagetan di matanya dipenuhi kemarahan.

Aku mendecih melihatnya tak lepas menatapku. "Kenapa? Kamu cemburu? Mau juga? Sama kamu juga nggak masalah, kok. Ayo. Kapan? Sekarang?"

***

"Sean marah sekali ...." cerita Angga saat kembali ke kamar malam itu, setelah beberapa lama menyusul Sean yang shock. "Di ICU Sandar sedang berjuang ... tapi kita malah ...."

Aku mendengarkan semua cerita Angga. Tapi enggan menanggapi karena sudah terlalu lelah.

"Banyu ... Aku tahu kamu pura-pura tidur."

"Aku bukan pura-pura tidur ... Aku cuma nggak mau dengar apa-apa lagi dari kamu ... Sean ... atau lainnya. Hhhh.... Exhaust fan-nya berisik banget."

"You're trying to shut me out ...," desisnya kecewa. "Again ...."

Mengabaikan Angga yang sudah memberikan perhatian sebesar itu, bahkan sampai rela mengurus semua keperluanku selama di rawat di Rumah Sakit, adalah tindakan kurang ajar yang dengan jujur kuakui. Aku bersikap jahat, tapi aku tidak bisa menghindari itu. Entah lelah apa yang membuatku terlalu pegal bahkan untuk sekadar mendengarkan apa-apa.

Dots on Paraline [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang