[Banyubiru] Orang Aneh yang Menangis Untukku

522 116 25
                                    

Aku menggumam panjang sambil menatap langit-langit ruang tengah. Permukaan kusam dengan bercak lembab di beberapa tempat ini seolah tengah memilah narasi informasi di kepalaku dengan gumpalan emosi yang mengikutinya.

Aku malas membahas ini. Sudah cukup untuk napasku yang sudah tak lega sejak semalam. Tapi mendapati Angga meluangkan banyak waktunya untuk menyaksikanku berkelit kesana-kemari membuat aku memutuskan untuk mengatakan apa adanya.

Seringkas mungkin. Sehambar mungkin, agar rongga dadaku tak menyempit lagi berkat perasaan bawaan yang melekat pada mereka.

"Seperti yang kamu tahu, MJ dan aku ..."

Angga mengangguk. Aku bersyukur. Ujung awal ceritaku ditangkapnya dengan baik.

"Ravi minta aku datang ke acara lamaran MJ dan Danar di Jakarta, tapi aku tidak datang."

Alis Angga terangkat, dan aku menjawab gestur bertanya itu dengan kalimat pengakuan dosa, "Aku bodoh. Masih merasa sakit hati, tapi tahu aku salah. Aku jadi pengecut dan butuh pacarku untuk menemani kesana. Sialnya ... kami sedang perang dingin gara-gara egoku tersentil, nggak ingin disalahkan atas pertengkaranku dengan MJ. Sandar menasihati, aku tidak terima, kami berhenti bicara."

Angga masih mengatupkan mulutnya rapat, meski aku tahu dari sorot matanya, ia tengah menyimakku baik-baik.

"Aku datang ke studionya untuk minta maaf. Haha... Mungkin aku datang padanya karena sedang butuh saja. Maka hukumannya ... Aku melihat dia dengan mantannya dulu, dan ..."

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Tawa getir tanpa sengaja lolos dari mulutku yang tersenyum sinis. Di kepalaku, aku berusaha membanting pintu studio malam itu. Pintu yang memisahkan ketololanku dengan pemandangan yang tak ingin kulihat. Ingin aku lupakan.

"I saw them making out... In the studio..."

Angga mendelik. Mulutnya ternganga tak percaya. Ia mendesis, "Sandar?!"

Ya. Aku juga tak percaya.

Tidak ingin percaya, lebih tepatnya. Tapi bayangan itu terlalu nyata, bercampur dengan suara-suara yang enggan lepas dari ingatan liang telingaku malam tadi.

"Kata Sean dia sudah berteman baik-baik dengan Terra," ucap Angga hati-hati. Masih tak percaya dengan ceritaku. Di kepalanya, Sandar masih anak baik yang tak mungkin melakukan hal itu.

Oh, Angga... Sandar juga masih seperti itu di benakku.

"Bukan Terra ..." suku kata terakhir dari mulutku terdengar bergetar. Aku berdehem mengusir serak yang mengganggu suaraku, "ehm ... tapi Pradipta. Kamu tahu ... dia ..."

Tarikan napas cepat Angga menunjukkan keterkejutan lain di wajahnya, "Sean."

"Iya. Laki-laki yang dulu bikin mereka ribut itu. Hahaha ... Astaga ..."

Aku tertawa. Mendengar Angga mengucapkan nama sepupunya itu membuatku teringat obrolanku dengan Sean di Semarang dulu. Ketika aku dengan jujur mengatakan bahwa aku sudah lebih dulu punya hati untuk sahabatnya.

Aku teringat bagaimana kekecewaan Sean di balik tampangnya yang cengengesan. Aku kenal darinya cerita tentang patah hatinya yang berulang. Dulu untuk Pradipta, lalu kini untukku. Lantas berada di posisi ini mengingatkanku bahwa aku mungkin senasib dengan Sean: dipatahkan hatinya oleh orang yang sama.

"Mereka satu band ... Sandar tidak pernah cerita ..."

Kini kedua alis Angga sudah bertaut sempurna. Matanya yang keruh menatapku lurus-lurus. Menembakkan tatapan simpatik yang aku benci.

Aku tak bisa apa-apa selain melengos. Tawaku mengering jadi senyum masam. Tertunduk menatapi permukaan tikar yang kami duduki.

"Mereka juga satu band dengan adikku ..."

Dots on Paraline [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang