[Pujangga] Tumbukan

625 152 19
                                    


Pujangga (24)


"Selamat ulang tahun, Mas Angga!"

"Lho? Apa ini? Ulang tahunku kan sudah lewat." Tapi tetap kuterima bungkusan darinya dengan senang hati. Boks yang kulihat dari ukurannya sepertinya adalah boks bekas sepatu itu berbalut remasan koran bekas berbentuk bulat-bulat. Dilakban sedemikian rupa sampai melekat satu sama lain.

Aku tidak mengerti lagi dengan apa yang dipikirkan anak ajaib ini. Ckckck...

"Iya, kan, dari kemaren Mas Angga nggak di rumah, kerja terus. Lagian bikin bakso-bakso ini lama, tahu!"

Aku tertawa kecil. Lalu menerima kunci motor yang dibawa pemuda kurus tapi punya senyum besar di wajahnya itu. Dia tak sabar untukku segera membuka kado darinya.

"Iya, Sean, terima kasih, yaa."

"Aku ditraktir kan, mas?"

Sambil menyobek lakban bening dengan ujung-ujung kunci motor untuk membuka kado darinya, aku menyahuti, "Nanti sore ikut Mas, ya. Sama pakdhe-budhe juga."

"Asik!" sambil kegirangan, Sean mengulurkan tangannya membantuku membongkar bungkusan hadiah untukku. Beberapa kali lakban jadi melar karena dia tarik dengan asal. Bola-bola koran mulai bergelindingan ke lantai, memenuhi kamarku.

"Eh, Mas..."

"Hmm?"

"Temenku yang waktu itu aku cerita itu... Udah putus lho sama ceweknya!"

Aku mengingat-ingat sambil mengumpulkan bola-bola koran di sekitar kakiku. "Yang mana?"

"Itu, lho, Mas... Yang malem-malem ngomel karna nggak suka aroma parfum ceweknya itu. Yang terus Mas Angga cerita tentang imperfection sama konsolidasi. Yang Sean terus nasihatin dia tentang itu juga. Inget nggak?"

"Oh... Ya." Aku tidak begitu ingat, tapi Sean memang sering menceritakan sahabat karibnya itu. Siapa namanya? Alexander? Xander?

"Iya, udah beberapa lama, sih, putusnya. Kayaknya sih ceweknya udah move on banget. Dia sekarang jadi keliatan carefree dan merdeka banget setelah putus dari Sandar."

"Hmm... Bagus kalau begitu," sahutku singkat sambil membuka lapisan koran terakhir di boksku. "Kadang kita memang harus menyelesaikan satu cerita dulu, entah dengan akhir yang baik atau buruk, untuk siap memulai yang baru."

Aku membuka penutup boks sepatu yang nyaris lusuh itu, dan tersenyum geli. Isinya jauh lebih mini daripada heboh bungkusnya.

"Wow, thanks, Sean."

Sebuah Tamagotchi 20th Anniversary Bandai. Bentuknya seperti telur, kecil, dan berwarna biu langit dengan tombol-tombol warna pink. Warnanya akan mengingatkanku pada rambut si pemberi. Ya... Sean baru saja membuat tanteku mengomel lagi karena nambutnya yang ganti warna lagi. Silver, dengan ombre warna biru muda dan pink.

Thank you, Sean, kamu menambah satu orang lagi di antrean curhat padaku.

"Pokoknya nggak boleh ilang, ya, mas! Harus dibawa kemana-mana! Ini buat teman Mas Angga kalo lagi gabut di kantor, kalo lagi bengong, kalo lagi nggak ada temen, kalo lagi inget— ehehehe, pokoknya biar Mas Angga cepet move on juga dan... apa tadi? Memulai yang baru! Yaaa itu. Hehehehe."

***

Malam, ketika waktuku diam sendiri dan menulis, Noah –peliharaan baruku— yang kelaparan membuatku teringat pada ucapan Sean siang tadi.

Tiba-tiba tiap tekanan di tombol-tombol Tamagotchi-ku itu jadi senyum sunyi. Mau tak mau aku teringat padanya. Juga semua kata-kata yang lahir dari senyumannya. Tentang titik parallel... Dimana kita tahu tentang keberadaan kita tapi tak bisa bertemu. Tentang rindu yang tarik menarik... tapi juga tak juga mempertemukan kita.

Tab New Post di akun blog-ku terbuka. Tapi kata-kata seolah buntu, sama seperti nasib diantara kita yang berakhir begitu saja.


Tumbukan...

...antara garis paralelku dan kau sudah terjadi lama sekali.

Garis kita sudah merantai erat sekali. Paralel satu arah, bergandengan erat seperti benang merah yang terjalin dari banyak doa dan rasa syukur yang kita kumpulkan bersama.


Tapi apa bisaku,

ketika aku masih berdiri disini sendiri,

dan kau sudah pergi bersama awan?


Yang tersisa kini hanya tinggal:

Seandainya.


Seandainya kita tidak memilih pilihan yang sama,

mungkin kita masih menghirup badai yang sama,

meski di tempat yang berbeda,

di nasib yang berbeda


Meski kita tidak bersama,

tapi kita tetap

ada

Dots on Paraline [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang