Sandar (19)
Aku heran...
Kenapa sih orang susah banget buat memperhatikan hal-hal kecil?
Terra ini, lho! Sudah kubilang parfumnya nggak enak, masih saja memakainya. Katanya, biarin saja. Waktu membelinya, teman-teman bilang aromanya enak. Padahal di hidungku... ugh! Baunya menusuk sekali! Bahkan ketika aku memboncengkannya dan melaju di atas enam puluh kilometer per jam, baunya masih menguar kemana-mana. Sepertinya malah menempel-nempel di punggungku. Atau kausku. Atau kerahku. Leherku!
"Aku lebih suka harum pewangi pakaian kamu tahu nggak," kataku dengan emosi ditahan, sambil sibuk menyetir nyempil kanan-kiri. Jalur sepeda motor Ring Road Utara dipenuhi mobil-mobil tak sabaran karena lajur mereka mulai macet.
Ini juga apa-apaan sih mereka, kenapa malah memenuhi lajur sepeda motor?! Nggak tahu aturan!
"Iyaaa tahuuu... Kamu cerewet, deh."
"Bukannya cerewet. Kamu tuh ngabisin rata-rata dua belas jam per hari sama aku terus. Boleh dong aku kasih advice yang bikin aku lebih nyaman sama kamu."
"Sampe maksa aku tetep pake parfum laundry aroma strawberry? Iya banget, deeeeh, Pak Sandar Langiiiiiit," Terra menyahutiku dengan nada mencibir. Kalimat diulur-ulur dan sok imut. Membuatku agak muak meski sedikit banyak ada rasa puas karena dia menurutiku.
***
Kata teman-temanku, aku ini perfeksionis. Aku punya kecenderungan berlebih dalam mengontrol sesuatu.
Iya sih, sedikit banyak bisa dibilang begitu. Aku juga sadar, kok. Aku hanya tidak suka saja kalau semua rencana yang sudah aku buat gagal begitu saja, atau bahkan cacat sedikit saja. Aku juga mudah merasa geram dengan hal-hal yang berbau spontan. Terlebih hal-hal yang tidak bisa dikontrol oleh kuasaku.
Sean bilang, Terra bisa membantuku. Pribadinya yang periang dan penuh kejutan dianggapnya bisa membuatku lebih luwes. Tapi nyatanya, berpacaran sejak kelas dua SMA sampai sekarang, justru dia yang banyak mengalah dengan sikap keras kepalaku.
Sekali lagi: Aku sadar, kok. Aku tahu benar kondisiku, dan sampai sekarang tidak pernah benar-benar ada satu momen dimana aku membenci kondisiku.
Kalau lelah... ada...
***
Pertemuanku dengan Terra di hari ini diawali seperti biasa. Adalah aku yang selalu menjemputnya dari rumah, lalu mengajaknya nongkrong di suatu tempat. Pukul sepuluh tepat aku sudah menunggu di depan pagar rumahnya. Sekitar sepuluh menit kemudian dia baru muncul dengan senyum lebar di wajahnya.
Dia tampak manis. Imut, seperti biasa. Dari jauh aku tahu blouse warna peach itu baru. Juga sandal dengan tinggi heels tiga sentimeter itu. Semalam dia cerita kalau pesanannya baru sampai di rumah, dan dia janji akan memamerkannya padaku.
Cantik.
Tubuhnya yang mungil dengan kulit yang bersih tentu sangat cocok dengan warna baju itu. Padu padannya juga tidak berlebihan. AKu suka rambutnya yang dikepang di satu sisi dengan jepitan rambut mungil yang kubelikan untuknya sekitar bulan lalu.
Pas.
Kalau tidak pas, sudah kuputar balik motor ini dan minggat saja.
"Aku cantik kan, Saaaan?"
Aku tersenyum ketika melihatnya dengan riang berputar-putar di teras rumah seperti anak kecil yang kegirangan. Setelah aku mengacungkan jempol, barulah dia berlari menghambur kepadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romance"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...