"Mas Banyu ki sumringah tenan kawit mau ki... Meh badha ndisikan opo piye, mas?"
Aku tertawa mendengar ledekan Pak Min. Katanya wajahku sumringah sekali sejak tadi, seperti orang mau Lebaran duluan. Padahal Lebaran sudah lama lewat.
"Badhane wes rampung suwi, pak. Hehehe..."
Hari Sabtu, biasanya tukang-tukang yang bekerja di proyek akan berkumpul di kantor untuk bayaran. Hanya ada aku dan Ajeng, admin keuangan yang masuk hari ini selama setengah hari untuk membayar tenaga mereka.
"Mboten, Pak Min, niku Mas Banyu meh malem mingguan. Iki kan dino Setu. Iya tho, maaaas?"
Aku tak bisa mengelak dari tuduhan Mas War. Ya, ini malam minggu. Dan malam mingguku belakangan rasanya lebih menyenangkan. Mas War, tukang kayu yang paling sering mondar-mandir antar proyek membantuku itu tentu tahu gelagatku tiap hari.
"Wah, Mas War ki ncen... Paling pangerten! Hahahaha."
"Hla iyo, Pak. Winginane kui Mas Banyu nganti njaluk digawakke mbako nggo tingwe seko Temanggung. Jere bojone meh nyicipi..."
(Hla iya, Pak. Kemarin itu Mas Banyu sampai minta dibawakan tembakau untuk 'rokok linting sendiri' dari Temanggung. Katanya pacarnya mau menyicipi...)
"Mas War, heh! Pake laporan Pak Min lagi!" protesku pada mulut ember Mas War. Orangnya malah cekikikan dan bersembunyi di balik badan gemuk Pak Min.
"Hooo... Wong pacaran kok malah tingwe. Mas Banyu ki aneh."
"Yo timbang lolak lolok, Pak." belaku.
Ya, betul, daripada bengong. Lagipula statusku dengan Sandar masih pendekatan. Tidak mungkin kan, aku mengajaknya skidipap pada fase ini? Bisa dicap aneh-aneh lagi aku ini.
Justru aku malah menikmati waktu-waktu ini. Aku menghargai setiap momen yang kulewati bersama Sandar, meskipun singkat. Darisana aku mengenal Sandar yang ternyata pecandu kopi, yang ternyata gila kebersihan, sedikit suka mengatur, tapi perhatian, mudah malu, suka pura-pura bete... Yah... Judes-judes-gemes gitu, deh!
Hhhh! Makin jatuh cinta glundang-glundung aku sama Sandar!
"Heh, Mas, jere bojomu seneng kopi?" Mas War teringat sesuatu. Lalu melangkah masuk meninggalkan rokoknya di asbak. Ia tampak menghampiri tasnya yang tersandar di dinding gudang kantor. Tempat itu kalau malam jadi kamar mereka.
Padahal Mas War tidak tahu siapa yang dia sebut-sebut sebagai bojoku atau pacarku. Ia hanya dengar sekilas-sekilas tiap aku berpamitan pergi ke warung kopi untuk menemui Sandar.
"Iyo. Piye, Mas?"
"Iki, lho... Aku digawakke kopi seko Lasem. Wes tau krungu Kopi Lelet ra? Sing dileletke ning udud?"
(Ini, lho... Aku dibawakan (oleh temannya) kopi dari Lasem. Sudah pernah dengar Kopi Lelet belum? Yang dioleskan ke rokok?)Mas War melemparkan bungkusan plastik yang diikat karet gelang. Isinya bubuk kopi yang sudah tinggal sedikit, tapi cukup untuk lima sampai sepuluh cangkir kopi tubruk lagi.
"Oh, iyo! Iki ki?"
(Oh, iya! Ini (kopinya)?)Aku meraba butiran yang tertumpah sedikit di bungkusnya. Butirannya jauh lebih halus daripada kopi yang biasa kubeli di warung. Malah, teksturnya jadi lebih mirip bedak tabur yang biasa dipakai MJ sehari-hari.
"Hooh. Gawanen wae nek meh nyicipi. Aku wes bosen."
(Iya. Bawa saja kalau mau mencicipi. Aku sudah bosan.)"Waaah. Suwun, mas!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romance"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...