Sandar (19)
"Kita liat kesana dulu, yuk, Sak— eh, San..."
Aku berhenti di tempat setelah kesan 'nyuut' nyeri itu menjalar dari pendengaranku.
Apa kata Terra tadi? Sak?
Saka maksudnya?
"Kamu itu nggak lagi jalan sama Saka." Suaraku cukup keras dan ketus, sampai beberapa orang yang lewat di koridor Lantai 2 Jogja City Mall itu menoleh ke arah kami sekilas.
Terra yang baru beberapa langkah berjalan di depanku langsung berbalik. Ekspresinya bingung, seolah sama sekali tak paham dimana letak masalah yang membuatku marah. Wajahnya polos seperti biasanya, bahkan masih sempat tersenyum dan bertanya, "Eh, apa?"
"Kita pulang." Moodku berantakan. Alih-alih mengikuti langkah Terra menuju salah satu toko K-Food, aku berbalik meninggalkannya terbengong sendirian.
Hari Sabtu, dan aku sengaja mengajaknya pergi seharian. Aku tahu ia terpaksa menolak ajakan cowok brengsek bernama Saka itu untuk pergi ke pantai. Terra berulang kali bertanya, "Mau apa kita hari ini? Kenapa dadakan sekali? Tumben." Tapi aku tak punya ide. Kami berakhir putar-putar Jogja dan mampir ke Jogja City Mall selepas petang, setelah obrolan tentang Samyang Ramen muncul.
"Kita challenge, yuk! Siapa yang paling kuat ngabisin Samyang Ramen, harus beliin pizza!" Mendengar nada suara Terra yang ceria seperti biasanya membuatku sedikit lebih tenang, bahwa ia tak begitu masalah kehilangan kesempatan 'main' dengan cowok itu.
Tapi apa katanya tadi? Ia sampai salah menyebut nama pacarnya sendiri dengan nama cowok lain? Apa ia sebegitu terbiasanya dengan Saka sampai lupa namaku sendiri? Apa ia benar-benar menunggu saat untuk bepergian dengan Saka sampai lupa pacarnya sendiri?
"Bapak Sandar Langiiit, kok marah, sih?" Terra mengejarku dan menggamit lenganku. Memanggilku dengan sebutan Bapak, panggilan ketika aku mulai marah-marah dan seperti bapak-bapak –katanya.
Aku tidak menjawab. Eskalator membawa kami turun ke Basement dimana motor kami terparkir. Terra masih membujuk-bujuk dan menanyakan kenapa aku marah. Biasanya aku akan kasihan atau setidaknya luluh jika ia sudah mulai membujuk seperti ini. Tapi kali ini kemarahanku sudah sangat meracuni. Sudah setengah minggu aku menahan curiga, dan hari ini meledak semuanya.
"Aku salah apa lagi, sih, San? Jawab, dong, jangan begini..."
Tarikannya yang terakhir benar-benar membuatku gusar. Entah kenapa, aku tidak bisa menahan diri atau melihat situasi. Aku menepisnya cukup keras dan ia sampai terhuyung ke belakang. Berdiri shock.
Di muka pintu masuk Hypermart yang ramai, Terra berdiri kaget. Perbuatanku barusan tentu mengundang perhatian banyak orang. Ada sedikit perasaan tak tega yang langsung tertiup begitu saja entah kemana. Mungkin api kemarahanku terlalu panas sampai nalarku tentang 'San, behave, ini tempat umum' langsung lenyap jadi abu.
"Kamu telpon aja Saka sekarang."
"Saka?" Terra tampak lebih kaget sekarang.
Oh, yaa... yaa... Jangan kira aku akan terus-terusan bodoh dan tidak tahu apa yang kamu lakukan di belakang, Terra.
"Kamu telpon dia, ajak dia jalan kemana kalian suka. Aku pulang."
Seperti kesetanan, aku langsung pergi meninggalkan Terra yang berteriak-teriak mengejarku. Tapi aku tak peduli. Entah kenapa tak bisa peduli. Meskipun kerumunan orang yang menyangka ada shooting reality show disini menghalangi langkahku, aku terus melangkah ke parkiran. Lantas pergi meninggalkan Terra yang menangis-nangis.
***
Dua hari kemudian, pipiku lebam dan jadi bahan tontonan anak kampus. Aku tersungkur di depan kantin dengan Saka –yang baru kali ini aku bertemu dengannya— terengah-engah marah di hadapanku.
"Cepat minta maaf sama Terra!" begitu perintahnya, seolah-olah Terra miliknya.
Aku berdiri dan menatap cowok sipit dengan rambut berantakan itu menantang. "Ini bukan urusan lo!"
"Oh! Jelas ini urusan gue! Terra itu temen gue dan lo udah nyakitin dia, bikin dia malu di depan umum! Cowok macem apa lo?!"
Emosiku yang tidak stabil dua hari belakangan membuatku ingin menggeramus tampang sengaknya itu. Tanpa menjawab omongan soknya, aku langsung menerjang dan membalas tinju yang tadi meradang di wajahku.
"BAJINGAN!"
Keributan tak terhindarkan lagi. Beberapa orang dari kantin datang dan mencoba memisahkan kami. Aku sampai tidak bisa mencerna apa-apa kecuali mendengar suara-suara yang mencoba menenangkan kami dan makian Saka yang merendahkanku. Tangan Saka masih menarik kerahku, membuatku tercekik sementara tangan-tangan lain berusaha melepaskannya dan menarik kami untuk saling menjauh.
Saat tubuhku dibanting ke permukaan coneblock yang kasar dan Saka diseret menjauh, saat itulah aku melihat Terra datang mendekat dan menampar Saka.
Plak!
Suasana yang tadi ribut-ribut jadi bungkam. Arena tinju berubah jadi adegan sinetron murahan dimana semua anak tampak antusias dengan kelanjutannya.
"Ra... Gue cuma mau belain lo—"
Terra tak menggubris pembelaan Saka. Sementara aku memegangi rahangku yang seperti mau copot, Terra mendekat dan menyingkirkan orang-orang yang memegangiku. Menarik tanganku dan menyeretku menjauh dari keramaian.
***
Di sisi kampus yang lebih sepi, Terra memenuhinya dengan suara tangisannya. Ia tak menahannya lagi, mungkin sudah dua hari ia begini melihat matanya yang bengkak. Aku berdiri diam tanpa tahu harus bicara apa. Diantara tangisannya, Terra mengataiku bodoh. Sibuk mengelap air matanya, dan setiap kali melihat wajahku tangisnya kencang lagi.
"Aku tahu... kamu baca chat-ku sama Saka..." katanya terbata, setelah menggosok matanya beberapa kali. "kamu salah paham, San..."
Salah paham apanya?!
Aku memaki dalam hati tapi kalau mulutku terbuka, hanya akan ada makian yang merusak penjelasan Terra.
"Saka itu temen sekelasku, temen sekelompok. Kami memang pernah main bareng gara-gara temen kelompok yang lain nggak datang." Terra menghela nafas beberapa kali hingga isakannya sedikit lurus. "Kamu pasti salah paham liat foto-foto di hapeku..."
Ada hawa panas di dasar paru-paruku. Masih ada. Tapi ada perasaan tolol lain yang diam-diam menampar di dalam kepalaku.
"Harusnya kamu tanya, nggak kayak begini..." Terra terisak lagi, "kamu bodoh banget, San..."
Iya...
Mungkin aku bodoh. Atau terlalu paranoid kalau Terra akan diambil orang lain?
Sadar tak sadar aku takut Terra tak betah denganku, sama seperti orang lain.
"Aku nggak tahu... kalau sifat temperamen kamu bisa sampai sebegininya, San... Aku bingung, kurang apa aku ngehadepin kamu..."
Suara tawa Sean menelusup lagi diantara perasaan bersalah dan takutku yang mulai tumbuh. Tunas-tunasnya yang tajam membuat rongga dadaku nyeri sendiri.
"Karena aku pacar kamu, apa hidupku harus terus-terusan sama kamu?! Apa aku nggak boleh punya teman?!" Terra mulai emosi. Mungkin marah yang ia tahan selama ini berada di puncaknya. Aku tak pernah melihat Terra seemosional ini. Ia tak pernah menangis sekencang ini. Ia tak pernah marah seterguncang ini.
"Pantas saja teman kamu cuma Sean! Kalau kamu nggak bisa punya teman, jangan bikin aku nggak punya teman juga!"
Deg.
Aku melotot. Mendongak dan mendapati keterkejutan yang sama di wajah Terra. Aku menangkap penyesalan Terra sudah mengucapkan kalimat itu. Tapi hanya sekilas. Selanjutnya, ia memasang wajah keras yang tak pernah aku tahu, Terra bisa seperti itu.
"Aku sudah selesai, San. Aku mau punya hidup sendiri yang nggak kamu kontrol seenaknya. Mungkin aku nggak cocok buat kamu. Semoga kamu nemuin orang bisa ngertiin kamu apa adanya. Kita sampai disini saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romance"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...