"Udah tahu goblok, diulangin."
Terra hanya menyerang lewat kata-kata. Tapi efek yang kuterima sama nyerinya dengan lebam di pipiku.
"Coba sini lihat!" kali ini, dengan separuh tertawa sinis, ia meraih daguku. Mengangkatnya dan mengamat-amati bengkak disana dengan takjub.
"Aku nggak nyangka Sean bisa mukul orang sampe begini. Gila. Kemajuan."
Aku juga tidak percaya. Sean yang kukenal selama ini juga bukan sosok bar-bar yang mungkin melayangkan tinju ke orang lain.
"Aku ditolak cuma buat kaya gini?!" begitu teriaknya setelah gelap sekejap hilang dari mataku. setelah sadar, aku sudah rebah di atas lantai yang keras.
Jujur, pukulan Sean pagi kemarin terasa menyegarkan. Kejutan hebat itu tak hanya membuatku tersungkur di teras rumahku, tapi juga membuatku membuka mata.
Ketika mendongak, aku bisa melihat Sean bukan lagi anak laki-laki yang hobi ngambek. Yang memendam kemarahannya dan merajuk kekanakan seperti dulu. Kini ia sudah menjadi laki-laki yang berani menumpahkan amarahnya dengan kepalan tangan. Untuk kasus ini, kuakui tepat sasaran.
"Kamu sadar nggak sih, yang kamu lakukan itu salah?! Hah?!"
Aku ingat bagaimana perseteruan kami dulu berakhir menjadi luka yang disimpan masing-masing. Tak ada perdamaian yang dikatakan, hanya ada ungkapan 'sudahlah' yang diwujudkan menjadi pertemanan lagi yang berlalu biasa saja.
Tapi aku bisa menerimanya, menerima perlakuannya kali ini. Aku tahu. Aku sadar. Kebodohan berulangku jelas-jelas sudah membangkitkan drama lawas yang sudah tak pernah kami anggap itu menjadi cacat besar pada pertemanan kami.
"Sean udah ketemu orang yang tepat ... Yang bisa bikin dia lebih berani jadi orang keras, yang bisa bikin dia lebih berani menyuarakan apa yang menurut dia benar. Nggak ngalah-ngalah lagi, nggak diem-dieman lagi terus rewel kaya dulu ..."
Aku mengangguk sementara melihat Terra menyiapkan kompres untukku. Aku tidak ingat berapa lama Terra tak pernah lagi main ke rumahku. Padahal dulu hampir setiap hari datang kemari, sampai ayah ibunya cemas kami digrebek karena dituduh kumpul kebo. Untungnya tidak.
"Iya ... Kak MJ," begitu jawabku meskipun Terra tak perlu mendapatkan penjelasan itu. Ia sendiri sudah tahu. Kudengar Terra pernah bertemu MJ sekali ketika tak sengaja berpapasan dengan duo YouTuber itu di Hartono Mall.
"Aku yg belum kemana-mana ... Aku nggak belajar apa-apa ... Ngulang kebodohan sama ...."
Mungkin kalimat itu juga tak perlu kuucapkan. Bagaimana pun, Terra sudah tahu apa yang terjadi semenjak aku meneleponnya dan minta tolong untuk menemaniku. Aku sudah kembali menjadi orang yang payah, dan Terra menjadi orang yang selalu menjadi mobil ambulans bagiku.
"Setidaknya kamu sekarang nggak jadiin aku pelarian kaya dulu," Terra terkikik sambil duduk di sebelahku.
Aku tak bisa menahan lirikan tak setujuku ketika ia mulai menempelkan kompres ke wajahku.
Mana ada?
Lalu ini apa? Kamu ada disini karena aku tidak punya siapa-siapa yang mau menemani sampah sepertiku, Terra. Kamu, sialnya, selalu jadi pelarianku. Dan kamu selalu datang, seburuk apa pun keadaanku.
Terra bergidik menyadari tatapanku. Dorongan keras tangannya pada wajahku membuatku mengerang.
"Aku masih betah jomblo!"
Aku mengaduh, memegangi sisi wajahku yang tidak jadi sembuh berkat gerakan refleks itu. Terra buru-buru meminta maaf. Tapi bukannya kesal, aku malah tertawa bodoh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romance"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...