[Sandar] Di Hadapannya, Aku Ada

506 123 80
                                    

Sambungan telepon diputus tiba-tiba, padahal aku belum selesai bicara. Banyu setelah Sabtu menjadi Banyu berbeda yang menyisihkanku.

Aku menghela napas panjang. Menatap chat-ku yang hanya dijawab bisu. Cuma dua centang biru, lalu tidak ada percakapan lagi. Bahkan teleponku hanya dijawab deru mobil dan seruan terburu, "Aku lagi nyetir. Tutup dulu, ya."

Itu saja.

Kenapa? Apa aku salah bicara? Kenapa di saat seperti ini justru ia menyisihkan aku dari masalahnya?

Apa aku salah kalau bilang dia juga salah?

***

Sabtu sore, Banyu pulang ke rumah dengan wajah yang kacau. Aku yang tak pernah melihat wajahnya tanpa senyum, agak gemetar. Ini pasti karena kedatangan laki-laki itu tadi pagi.

Namanya Danar. Ia mengaku calon suami Kak Je. Cukup perkenalan singkat itu, dan mood Banyu berhamburan kemana-mana.

"MJ nggak pernah cerita kalau dia mau tunangan."

Nada bicara ketus itu membuat suasana diantara dua laki-laki dewasa di ruang tamuku pagi itu jadi penuh percikan pertempuran tak kasat mata.  Berbeda dengan Banyu yang tampak emosional, Danar menanggapinya dengan wajah datar. Tapi kalimatnya penuh pisau tajam.

"Untuk apa dia bilang ke kamu, kalau kamulah alasan dia menolak ditunangkan?"

Masuk akal. Aku sering dengar cerita tentang Kak Je yang berat meninggalkan kehidupannya di Jogja berikut dua sahabatnya di dalamnya. Ia enggan pulang ke rumah, itu hanya akan mengekang hidupnya yang dinamis dan sedang asik-asiknya. Begitu katanya.

"Aku minta tolong, Banyu. Tolong bujuk teman kamu pulang ke rumah. Kalau dia mau menolak lamaranku, tolaklah. Tapi setidaknya lakukan di depan keluargaku yang sudah tiga kali datang ke rumahnya. Supaya jelas, supaya fair."

Teman. Kata itu ditekankan dengan sangat rapi oleh seorang Danar. Dari sorot matanya yang tajam dan tak gentar, aku tahu ia adalah laki-laki tegas yang tidak mudah dipatahkan.

Ya. Tentu saja. Dia sudah membawa keluarganya untuk melamar gadis yang sama, tiga kali. Entah pantang menyerah atau nekat, tapi aku tahu itulah yang membuat Banyubiru tak bisa menolak permintaan itu.

Bukan kesal karena tak diberitahu hal penting dari kehidupan sahabatnya, bukan pula sedih karena akan ditinggal menempuh kehidupan baru. Emosi yang Banyu munculkan kukenali sebagai rasa tak enak karena telah menunda tahap hidup seseorang.

Banyu terluka karena merasa menjadi beban.

***

Sean meneleponku sambil menangis meraung-raung. Ia bilang, Kak Je dan Banyu bertengkar hebat. Mereka saling menyinggung perasaan satu sama lain.

Banyu marah. Kak Je murka, memutuskan untuk pergi. Pulang bersama Danar yang sudah menjemputnya.

"Momje dibilang perawan tua. Mas Banyu dibilang sampah nggak tahu terima kasih. Mereka bubaran, terus aku gimanaaaa? Huweeee...!"

Sampai disitu, hatiku ikut tercabik-cabik. Kami baru saja merasakan hawa senang bersama-sama, tapi kenapa tiba-tiba jadi begini keadaannya?

Sean bertemu kawan sparing yang tepat, aku bertemu partner lengkap yang memenuhiku. Berkat insiden antar sahabat itu, kami nyaris kehilangan itu semua.

"Mas... Sebaiknya Mas minta maaf sama Kak Je... Buat Kak Je, dibilang seperti itu oleh sahabat sendiri itu pasti menyakitkan sekali..."

Aku yakin aku sudah berkata dengan hati-hati. Memastikan wajahku bukan wajah yang seringkali disebut 'songong' oleh teman-temanku. Aku juga sudah merendahkan suaraku, memeluk bahunya yang naik turun marah. Aku tak tahu dimana salahku, hingga Banyu begitu marah dan menepis rangkulanku.

Dots on Paraline [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang