Nafas yang berantakan. Emosi yang berhamburan. Tangan yang gemetaran. Air mata, suara terbata... siapa yang sangka itu semua akan berkumpul di dalam dekapanku.
Mendengarnya, entah mengapa detakan jantungku ikut terasa ngilu. Seolah rasa rindu yang tak kukenali itu juga ikut kurasakan.
Aku tidak tahu berapa lama Angga menangis separah itu di pelukanku. Untung itu jam makan siang, anak-anak kantor sedang keluar cari makan. Kalau tidak, pemandangan ini pasti akan menjadi pembahasan di kantor untuk berminggu-minggu kemudian.
Aku hanya bisa membisu membiarkan Angga begitu beberapa lama. Bingung, ngeri, heran, takut, merasa bersalah, dan sedih bergumul jadi satu di mulutku yang bungkam. Ada apa sebenarnya dengan Angga? Dulu dia ketakutan melihatku, sekarang dia menangis sekeras ini. Apa ada yang salah denganku? Kenapa pula ia tak mengatakan apa-apa?
Dan siapa yang disebutkannya tadi? Winter? Siapa?
"Angga..."
"Maaf... Maaf..."
Angga duduk di seat penumpang, aku berjongkok di hadapannya. Memegangi kacamatanya yang sudah kulap hingga kering setelah sebelumnya basah oleh air mata. Ia sudah lebih tenang dari sebelumnya, dan mulai meracaukan kata maaf berkali-kali.
Maaf sudah menangis seperti itu, maaf sudah bertingkah aneh, tapi bukan maaf untuk membuatku bingung dan menunggu sekian lama.
Aku tidak bisa memaksa. Meskipun malam itu kami berdua sepakat bahwa rasa nyaman magis itu sama-sama kami rasakan, saling merasa seperti teman lama yang dipertemukan kembali, aku tetap sadar bahwa aku orang yang baru dikenalnya. Sebagai kolega pula. Jadi tak ada alasanku untuk mendesaknya memenuhi janji, menceritakan hal-hal yang membuatku tak mengerti tentang malam itu.
Melihat Angga ada di hadapanku, sehat, dan bisa berbincang seperti sebelumnya, sudah membuatku tenang. Sudah membuatku senang. Tapi ketika ia kembali begini, dadaku sesak kembali.
Ada apa?
Kenapa?
Apa kamu baik-baik saja?
Apa aku sudah melakukan hal yang salah?
Apakah kehadiranku membuatmu tak nyaman?
Kenapa? Kenapa kamu seperti ini? Apa aku melakukan sesuatu yang membuatmu takut atau sedih?
Aku ingin tahu tentangmu!
Semua pertanyaan di kepalaku mampat dalam genggaman tanganku di tangannya. Aku menunggu dia untuk menatapku, tapi ia terus menghindar.
"Angga... Mau kuambilkan minum?" tanyaku hati-hati.
Angga menggeleng cepat. Seolah tak ingin waktu berlalu lebih lama lagi di hadapanku. "Nggak usah, Banyu. Ah... Astaga... Maaf, aku terbawa emosi."
Emosi? Emosi apa?
Angga mengusap wajahnya untuk terakhir kalinya. Lalu menatapku sambil tersenyum palsu. Mengatakan kata 'hehe' singkat, seolah itu akan membuatku berhenti mencemaskannya.
Aku menghela napas menyerah. Mengambil sesuatu dari tasku dengan tangan satunya, lalu meletakkannya di tangannya.
"Ini... Kukembalikan..."
Tamagotchi pemberian Sean yang Angga pinjamkan padaku, kukembalikan. Ia sudah menjadi temanku selama beberapa minggu ini. Dia sudah memenuhi galeri ponselku, memenuhi chatroom WhatsApp-ku dengan Angga walau tak pernah dibalas. Kalau dia bisa bicara, dia akan banyak cerita tentang kekhawatiranku akan Angga. Tapi dia cuma mainan... Bisa apa...
"Aku tahu kamu nggak baik-baik aja..." ucapku hati-hati saat Angga tersenyum tipis melihat peliharaannya sudah besar.
Angga mendongak dan menyimakku takut-takut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romance"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...