"Really?!"
Nada tinggiku hanya membuatnya menguik, mengucapkan sorry panjang yang membuat senyumnya melebar hingga telinga. Banyubiru mengangkat sekotak pizza yang dia bawa sebagai upeti atas janjinya yang gagal ditepati.
Aku hanya mengeluh dalam gumaman samar, tapi membiarkan pintu terbuka sebelum meninggalkannya disana.
"Ooooh ... Thank you, Wonderwall!" Banyubiru berterima kasih dengan suara dramatis yang dibuat-buat. Dari balik punggungku, aku bisa mendengarnya melepas sepatu dan meletakkannya di rak dekat pintu.
Wonderwall dengkulmu. Aku cuma jadi tempatmu melarikan diri, Banyu.
Sejak putus dengan Sandar, ia terus-terusan datang ke kamarku. Awalnya karena ia memang sedang ada pekerjaan pengukuran interior di hotel, lalu mampir ke kamarku setelah selesai. Tapi sepertinya ia jadi ketagihan dan terus menerus datang.
Tak peduli sudah lewat tengah malam, ia akan menelponku dan tanya apakah aku sudah tidur atau belum. Tanpa diminta ia sudah ada di lobby, menyudutkanku yang tak bisa apa-apa selain mengijinkannya naik.
Katanya, ia tak kuat harus pulang ke rumahnya sendiri. Tetanggaan dengan mantan katanya seberat itu. Setiap kali melewati jalan yang sama, ia jadi teringat momen-momen ketika mereka bersama. Setiap belokan dan grunjalan, hatinya terguncang lebih parah. Begitu kata Banyu, tanpa kukurangi atau kulebih-lebihkan.
"Aku nggak kuat liat balkon kamarnya! Hhhh ...."
Alasan konyol itulah yang membuatnya melanggar janji. Aku memintanya untuk berani menghadapi resiko itu. Banyu merenung dan bertekad untuk lebih kuat lagi. Tapi baru sehari, ia sudah tumbang seperti ini.
"Aku mau pulang tadi ... Tapi aku lihat dia lagi bengong lama banget di perempatan antara rumahnya dan rumahku! Aku mana bisa lewat!"
Ck ....
Itu artinya kalian berdua sama-sama kesulitan melupakan karena alasan serupa, kan?
Aku hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar keluhannya itu. Tanpa banyak komentar, kembali ke meja kerja dan fokus pada laptop yang mulai panas.
"Aku nggak akan ganggu kamu lagi kerja, Ngga. Suer! Aku cuma mau numpang mandi, makan, terus tidur, deh!"
Aku menoleh ke arahnya. Dengan sengaja menunjukkan roll-eye ku padanya. Apanya yang cuma? Itu semua teror yang kamu beri padaku setiap hari sejak kalian putus. Lagipula tidurmu itu mendengkur, Banyu. Apanya yang nggak akan mengganggu?
"Mandi sana," perintahku akhirnya, menyerah.
Tampang Banyu yang mengkilat dan bajunya yang lusuh jelas-jelas menunjukkan ia baru selesai bekerja, berusaha pulang, dan berakhir disini. Melihatnya begitu, mana aku tega?
Senyum lega Banyu mengembang begitu mendengar responku. Tanpa banyak mengoceh lagi, ia pergi membiarkanku menyelesaikan sisa pekerjaan. Menjebloskan diri ke kamar mandi dan memberiku konser gratis yang tak begitu ingin kudengar.
"Cause maybeeeee~ You're gonna be the one that saves meeeeeeh! And after aaaaall, you're my wonderwaaaaaall~~"
Astaga ... Gendang telingaku ....
***
Waktu aku keluar dari kamar mandi, Banyu sudah mematikan televisi. Ia sudah duduk di sofa tempatnya biasa tidur dengan lampu yang sudah padam. Hanya ada cahaya kekuningan dari lamp stand dekat meja kerjaku yang menerangi ruangan.
Kamar suite yang kutempati punya ruang tamu kecil dan kitchen dekat tempat masuk. Terpisah sekat dengan ruang tidur yang kuisi dengan rak untuk koleksi buku-bukuku. Meja kerjaku ada di sudut ruang TV, tempat yang sama dimana Banyu menghabiskan separuh loyang pizza yang ia bawa sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romance"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...