"Nah! Ini dia orangnya! Panjang umur!"
"Opo neeeeh?" sambil mengelus dada karena terkaget-kaget di ambang pintu kantor, aku meluncurkan protesan pada Mbak Okta. "Aku belum sempet salam, lho, Mbak... Udah kamu teriakin lagi. Ck... Jan..."
Aku geleng-geleng kepala sambil menarik lepas jaketku. Melangkah ke arah pantry untuk menggantung jaket yang bagian dalamnya basah karena keringat itu. Sambil mengambil minum dari dispenser, kudengar suara-suara dari ruang kerja Mbak Okta dan Mas Satya.
"Kamu dah jadian po, Nyu?" teriak Mbak Okta kepo.
Melongok dari arah pintu pantry, aku mengerutkan kening tak paham dengan apa yang dimaksud olehnya, "Hah? Karo sopo?!"
Sama siapa? Seingatku aku tidak pernah jadian atau berencana jadian. Dengan siapanya saja masih misteri buatku.
Sampai dengan aku berdiri bersandar di meja printer dekat meja kerja Mbak Okta, aku masih mengingat-ingat, siapa diantara temanku yang pernah kukenalkan dengan mereka berdua. MJ? Mereka sudah kenal dengan si cerewet itu, bahkan pernah makan siang sama-sama. Dan aku rasa, Mbak Okta dan Mas Satya sudah berhenti mengira MJ pacarku.
"Itu lho, yang suka telpon-telpon kamu kok tumben udah nggak ngrusuhi kantor lagi? Udah jadian po? Cieee..." Mas Satya bergantian menyenggol lenganku yang masih memegang gelas berisi air dingin, ketika melintas menuju kursinya di hadapanku.
Antara kesal karena airnya hampir tumpah, dan teringat teror telepon yang menyerang kantorku beberapa lama, aku hanya bisa menyahuti dengan tampang meringis ngeri. "Nggak yo, Mas... Aku nggak kenal itu siapa."
"Mosok?"
"Iyooo! Suer! Nggak kenal aku sama dia itu!" Aku mengacungkan dua jariku kencang-kencang. Berusaha meyakinkan mereka berdua kalau apa yang mereka pikirkan itu tidak benar.
Tapi Mbak Okta dan Mas Satya malah terus nyerocos membahas sosok misterius itu. Padahal mata mereka sudah kembali ke layar komputer masing-masing. Entah kekuatan multitasking apa yang mereka miliki sampai bisa mengurusi pekerjaan dan kehidupan pribadi orang lain di waktu yang bersamaan.
"Padahal ayu, lho..." Cetus Mas Satya asal.
"Cantik darimana? Emangnya kamu vidcall-an karo deknen?" Mbak Okta menyambar sengit.
"Suarane, lho... Kenes-kenes manja piyeee ngono. Hihihi."
"Bang Sat ngaco!"
"Hla jenenge Monik, kok!"
"Bukan, yo! Sarah!"
"Halah... Kuwi saben telpon ngomong jenenge bedo-bedo, kok. Wingi Monik, sakdurunge Bu Bambang, sakdurunge meneh ngaku lanang-- Eh, sakjane kuwi lanang po wedhok, tho?"
Pertanyaan Mas Satya adalah pertanyaan yang sama denganku. Penelepon itu selalu menelepon dengan identitas yang berbeda-beda. Sebelumnya Monik, Bu Bambang, Sarah, Budi, Tatan... Tapi satu yang bisa kupastikan, peneleponnya laki-laki. Suaranya memang tipis dan agak tinggi. Mungkin juga agak dibuat-buat. Tapi aku tahu dia itu laki-laki.
Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba ada spam telepon yang mencari-cari aku. Nyaris setiap hari telepon kantor berdering, peneleponnya menanyakan, "apa ada Mas Banyubiru?"
Awalnya Mbak Okta dan Mas Satya yang pasti ada di kantor mengira dia itu dari vendor atau supplier material yang gagal mencoba menghubungiku via handphone. Tapi ternyata tidak. Nama-nama yang Mbak Okta dan Mas Satya sebutkan sama sekali bukan nama-nama vendor atau supplier yang berhubungan denganku untuk project manapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romance"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...