Banyubiru (23)
"Lampu mana, lampu?! Ini kenapa gelap begini?!"
Tentu saja MJ bercanda. Ini tengah hari bolong. Di luar ruangan pula. Dia mana perlu lampu. Dia cuma mau menyindir tampangku yang makin gelap gulita terbakar matahari.
"Apaaa? Bilang lagi! Ooh, iya, gue emang makin hot. Thanks, sis."
MJ tertawa setelah mencibir. Menyeret kursi plastik sambil berteriak minta menu ke mas penjaga warung.
Aku sudah lebih dulu duduk sambil mencomot tempe goreng yang berserakan di nampan. Suara renyahnya membuatku sedikit lega. Aku akan makan siang. Akhirnya.
"Tumben lo bisa nyaut pas gue ajak makan siang. Biasanya... idih! Boro-boro! Chat gue cuma di-read!"
"Soriiii. Chat lo nggak penting, lebih penting chat dari orang kantor. Ada duitnya."
"Fine! Gitu, ya, lo sekarang?! Udah dibutakan oleh harta! Cih! Orang proyek semua sama busuknya."
Aku terkekeh tapi tak bisa menahan untuk membungkam mulutnya.
Ini bukan warung burjo langganan kami. Apa jadinya kalau mulut nyinyirnya itu membuat orang lain yang mendengar tersinggung. Hah... MJ. Dia tidak juga berubah.
Dia masih cerewet dan tajam. Masih rajin mengomel dan mengatur ini itu. Tapi itu lebih baik daripada tidak ada dia sama sekali.
Masalah tujuh bulan lalu cukup menjadi pengalaman sekali seumur hidup. Membayangkannya kembali saja tidak menyenangkan. Kehilangan MJ sama seperti kehilangan dua ginjal. Mungkin.
"Kurang Ravi, nih! Ah... Dia pake acara kerja di Semarang segala... Ngapain, sih?!"
Aku tertawa pendek. Memesan dua porsi gulai ayam dan tiga gelas es teh untuk makan siang kami.
Iya. Tidak ada Ravi kurang lengkap rasanya.
Ia berhasil lulus empat bulan yang lalu. Tanpa masa tunggu yang cukup lama, dia mendapat panggilan kerja di sebuah pabrik furniture besar slash kontraktor interior di Semarang. Hidupnya hanya kerja dan kerja. Enam hari dalam seminggu masuk kerja. Ia hanya punya waktu hari Minggu untuk dirinya sendiri. Itu pun kalau tidak ditelpon sana-sini oleh klien dan kolega lainnya.
Ketika sempat video call bertiga minggu lalu, kami bertanya apa yang dilakukannya ketika sedang libur. Ravi lantas memamerkan jejeran botol-botol kosong You C 1000 di kamar kosnya. Katanya ia mengumpulkan itu semua untuk membuat bom molotov.
"Rental PS depan kosan gue isinya kampret semua! Gue nggak bisa tidur! Berisik lagi, gue lempar itu rentalan paka bom molotov!"
Tapi kami terlalu tahu kalau Ravi paling tidak suka konfrontasi. Keesokan harinya ia memamerkan botol-botol itu sudah jadi pot tanaman hias kecil-kecil.
"Gue pajang di pagar kosan, terus banyak cewek-cewek dari kosan sebelah pengen. Ya gue bagi-bagi aja, bayar pake nomer hape. Hehehehe."
"Iya, nih... Nggak ada Ravi, gue jadi kesepian."
Setelah Ravi pergi dan aku juga mulai bekerja sebagai Fit Out Architect di salah satu kontraktor di Jogja, aku memutuskan untuk tidak lagi ngontrak di rumah yang lama. Kontrakan baruku di daerah Klitren, lebih dekat dengan kantor. Lebih dekat juga dengan kantor MJ sekarang. Itu sebabnya aku masih bisa sering bertemu dengan MJ setiap hari. Hanya belakangan ini saja aku jarang bertemu dengan MJ. Waktuku banyak habis di proyek renovasi di Lippo Plaza, bukan di kantor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romance"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...