"Mission complete, sih ... Tapi kesannya mendadak meningkat jadi ...," Yogamaya yang semula menumpukan kedua sikunya di meja bar, di seberangku, menegakkan tubuh. Wajahnya yang lempeng menampakkan ekspresi malas samar-samar. Ia memilih menyisir rambut gondrongnya ke belakang sambil lalu ketimbang menyelesaikan kalimatnya.
"Apa?" tuntutku sebal, seolah ia tengah menyindirku tentang sesuatu.
Aku mendesak Yogamaya, tapi yang muncul justru pacarnya. Tantra datang menyodorkan sepinggan waffle pesananku lantas melengkapi kalimat kekasihnya, "Flirty. Ih!"
"Flirty? Siapa? Siapa ke siapa? Aku?"
"Iya, kamu. Genit." jelas Yogamaya sambil menerima note pesanan dari gadis pelayan yang baru saja menemui pelanggan.
"Hah? Kok?"
"Ya kamulah! Ke Aria. Siapa lagi?" kini gantian Tantra yang jadi rekan mengobrolku di seberang bar. Wajahnya sinis dengan bola mata berputar jengah sebagai pembukanya.
Aku baru saja mengantar beberapa material pesanan ke proyek Salon di dekat sini. Setelah selesai melangsir semen, pasir, beberapa blok beton roster, lalu briefing sebentar dengan tenaga di lapangan, aku melipir untuk ngopi di Kenang Maya.
Ya. Cangkir kopi pertamaku setelah putus dengan Sandar kupercayakan pada Yogamaya. Katanya, untuk apa menghindari minuman senikmat kopi hanya karena mantan? Pfft! Jangan betah-betah jadi konyol, Banyu.
Maka frappe dengan selintas rasa cokelat dan hazelnut yang manis centil itu jadi kopi pertama yang mampir ke mulutku. Menaklukkan kenangan tentang Sandar yang paling kuingat. Kopi pahit.
"Siapa yang kemarin minta aku buat move on bareng-bareng sama Angga? Woy, pak."
Aku mendesak penjelasan dari Yogamaya. Punggungnya yang lebar membelakangiku, tak menggubris pembelaanku an malah sibuk meracik kopi. Malah pelayannya yang mirip chicken little menimpali.
"Kamu kesepian ya, Mas? Pas adanya Mas Angga, yang nganggur, jadinya kamu sikat?"
"Apaan, sih, ni anak? Ikut campur aja." Aku mendorong gadis berambut mangkok yang duduk di sisi kiriku. Tubuhnya yang pendek dan kurus kalah, membuatnya terpaksa merosot turun dari bar stool yang tinggi.
"Kerja sana, nggak usah ngurusin urusan orang tua."
"Idiiih, orang aku lagi nungguin kopinya Mas Yoya, kok. Wleee!" sambil meleletkan lidahnya mengejek, Moa, pegawai termuda Yoya ini kembali duduk di sebelahku.
"Kurang belaian kamu, Nyu?" sengit Tantra.
"Apanya yang-"
"Bosen pakai tangan sendiri, Mas? Hihi."
"Moa," kali ini Yogamaya yang menghentikan serangan Moa. Candaan itu terdengar mengganggu di telinga Yogamaya untuk diucapkan gadis semuda Moa.
Yogamaya kumat jadi bapak-bapak konservatif kalau sudah urusan mendidik Moa. Ia menatap gadis sembilan belas tahun itu lurus-lurus, mengirimkan omelan tanpa kata yang membuat Moa mengerucutkan bibirnya sebal. Tanpa bisa melawan, ia menerima cangkir kopi dari Yogamaya dan meletakkannya di nampan.
"Aku tuh sering, yaa, merhatiin Mas Banyu kalau ngeliatin Mas Angga tuh ... Nempeeel banget. Dari mata, ke idung, ke tangan ... Terus leher ... Bibir ... Mata lagi, terus bibiiiir ... Bibir lagiii ...."
"Moa!" sentakku dengan wajah memanas, lalu memilih untuk memprotes kelakuan pegawai itu pada pihak yang lebih berwenang, "Pak! Ngapa pegawai lu nggak ada yang beres, sih? Nggak Tantra, Jiyan ... Ni lagi si Jamur Kancing. Resek!"
Moa melirikku meledek. Bibirnya mengerucut, seolah menyeruput kopi yang ia bawa, tapi sambil mengeluarkan suara cup-cup-cup.
Aarh!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romance"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...