"Gue sakit, nih. Kalian nggak ada yang mau nengokin?"
Kiriman foto Ravi membuat kami kalang kabut. Foto tangan kiri dengan infus menancap itu berakhir denganku dan MJ yang duduk di dalam shuttle bus, mengambil jadwal keberangkatan paling pagi ke Semarang.
Tadinya MJ mengajakku boncengan naik motor saja. Tapi aku baru saja pulang dari proyek jam sebelas malam. Karena kelelahan dan takut mengantuk, aku menyarankan untuk ke Semarang besok paginya saja setelah memastikan Ravi aman malam ini.
Aku dan MJ menyadari, Ravi makin jarang menghubungi kami. Kalaupun MJ dan aku ribut-ribut di group chat, ia hanya nyamber sekenanya. Meskipun yah... Jempol jahat Ravi selalu sukses melahirkan keributan, dan doa-doa kuat dariku untuk mereka jadian saja.
Ravi sibuk dengan pekerjaannya. MJ juga. Aku tidak berbeda. Bedanya, aku dan MJ masih bisa bertemu karena sama-sama di Jogja. Kami sering bertemu sepulang kantor, pada jam makan siang, atau datang ke kontrakan masing-masing. Dulu kami terbiasa bertemu Ravi dengan mudah. Datang saja ke kontrakanku, pasti ada Ravi disana. Dia tak pernah main-main ke luar, hanya mengunyah-dan mengunyah di depan laptop, nyaris jadi kepompong di ruang TV.
Tiba-tiba aku kangen Ravi. Aku kehilangan sosok maskulin Ravi yang terus ada di sampingku, untuk menjagaku tetap waras dengan nasihat-nasihatnya yang banyaknya ngaco, bodo amat, tapi realistik. Aku rindu obrolan tidak penting dengannya setiap hari.
Sepertinya MJ juga begitu. Meskipun tidak banyak membahas, aku tahu rasa rindu MJ pada Ravi. Dia kehilangan teman debat yang sepadan, dia kehilangan lawan adu makian yang selevel. Diam-diam, sebelum aku terlelap karena ayunan shuttle bus yang mulai melaju, aku melihat MJ yang menangis khawatir di lenganku.
***
Aku baru terbangun sekitar empat jam kemudian, ketika kami sudah sampai di Semarang. MJ tidak tidur sama sekali. Ia memastikan rute yang bisa kami tempuh dari kantor agen shuttle bus ke Rumah Sakit. Menurut MJ, jaraknya hanya 10 menit dengan mobil.
Aku merogoh handphone, memeriksa apakah ada kontak penting dari kantor. Semalam, begitu aku mendengar kabar Ravi dilarikan ke Rumah Sakit, aku sudah minta ijin ke Pak Bos untuk tidak masuk kerja hari ini dan besok. Pekerjaan di lapangan sudah kuserahkan pada Mas Satya, begitu juga kewajiban membayar tukang besok Sabtu. Tapi aku harus terus siap sedia jika mereka menghubungiku.
Hanya ada beberapa chat di grup WhatsApp kantor, dua diantaranya pertanyaan buatku, berkenaan dengan detil pekerjaan di lapangan. Tapi ada satu panggilan tak terjawab beberapa menit lalu.
Dari Angga.
"Angga telpon nih, Je."
MJ yang sedang sibuk pesan taksi online, melirikku. Andai ia tidak sedang khawatir dengan Ravi, ia pasti heboh mendengar kalimatku.
Tempo hari, ketika kuceritakan tentang pertemuanku dengan Angga, dengan Pujangganya, MJ heboh bukan main. Dia tidak percaya dan menuduhku bohong.
Tapi kupastikan Angga yang kutemui benar-benar Pujangga yang selama ini berbalas email dengannya. Aku menceritakan bagaimana sosok Angga di dunia nyata. Bagaimana cara dia bicara, bagaimana sikapnya, bagaimana latar belakangnya sebagai hotelier.
"Cakep lho orangnya, Je. Mirip artis Thailand yang kita pernah nonton itu, lho... Siapa namanya? Yang main Suckseed?"
"Yang mana? Vokalisnya?"
"Bukan. Bassist-nya? Siapa?"
"JIRAYU?! SERIUSAN?!"
Kuperlihatkan foto profil WhatsApp Angga, dan MJ menggeram gemas, "Uuuungg~ Manis bangeeet! Iya sepintas mirip, bentuk wajahnya. Cuma versi lebih dewasa aja. Trus yang ini... anjir~ Rapi jali~"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romance"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...