[Pujangga] Bab Baru dari Dongeng Lama (1)

415 87 24
                                    

"Sudah selesai?" Banyu bertanya sambil menyodorkan sebotol air mineral dingin dari tangan kanannya. Tangan lainnya memegang air minum yang sama, meski sudah habis separuh botol. Kutebak, ia kepanasan selama menunggu di warung tadi.

Aku mengangguk sebagai jawabannya dan menerima air mineral yang ia belikan padaku. Berada di sini, di makam Van bersama Banyu, tak pernah kubayangkan sama sekali. Perjalanan hari ini awalnya adalah sebuah paksaan. Mama dan Papaku mengomel saat mengetahui terakhir kali aku pulang ke Semarang, aku hanya mengunjungi makam Van dan rumah bapak ibu mertuaku. Katanya, "Anak kandung macam apa yang nggak pulang ke rumah sendiri setelah berbulan-bulan tidak pulang kampung?"

Aku tahu pulang ke rumah selalu menjadi momen tidak begitu menyenangkan bagiku. Meski keduanya berusaha menutupi, Mama dan Papa selalu tampak terlalu ngeri dengan kondisiku. menganggap 'halusinasi'-ku sebagai penyakit mengerikan yang ingin segera mereka sirnakan seperti penyakit cacar. Awalnya bertanya dengan nada khawatir, lalu menyarankan treatment aneh-aneh yang membuatku tak nyaman.

Meski alasan mereka 'pulanglah ke rumah, semalam saja', aku tahu pada akhirnya mereka akan menahanku setidaknya selama seminggu penuh. Alasan pekerjaan di Jogja tidak mempan lagi. Itu sebabnya ketika mendengar cerita ini, Banyubiru menawarkan diri menjadi alasannya.

"Ajak aku," begitu katanya, seolah itu ide yang bagus, padahal ia tidak tahu benar dengan siapa ia akan berurusan. "Kalau bawa teman, pasti tidak enak menahan di rumah lama-lama. Iya, kan?"

Tidak, Banyu.

"Ceritain aja kalau aku project coordinator yang ngurus renovasi hotel Citrananda Jogja. Bilang kalau aku perlu lihat standar Citrananda Semarang sebelum memulai rencana renovasi di sini. Kalau kamu tidak betah di rumah, kita kabur ke hotel. Gimana? Kalau Mama-Papamu menahanmu tinggal lebih lama, bilang kalau aku harus cepat pulang karena urusan kantor, dan kamu juga banyak pekerjaan untuk proyek ini. Cool?"

Alasannya masuk akal, dan mungkin saja berhasil. Tapi aku cemas dengan keberadaannya di rumahku. Entah kenapa ....

Tapi pada akhirnya, disinilah kami. Seperti suaka untuk kewarasanku yang belum juga utuh, seperti biasa aku selalu datang ke makam Van sebelum pergi kemana-mana di Semarang. Banyubiru setuju saja dan membiarkanku masuk ke komplek makam sendiri, memilih menunggu di warung depan kompleks pemakaman dengan alasan tidak ingin menganggu kegiatan pasutri. Hehe, begitu tambahnya, seolah-olah aku menemui Van untuk kencan dan semacamnya.

"Mau kemana? Sebentar, aku juga mau ketemu Van."

Senyum Banyu melebar, menyambut wajah tidak megertiku. Seringai seterik matahari di atas kepala kami itu mengantar langkahnya yang berjingkat di antara makam-makam untuk menuju tempat dimana Van berada. Kalau Banyu tak meneriakiku, bertanya dimana makam Van, aku pasti masih tercenung di tempat. Tak menyangka kalau Banyu juga akan memberi salam pada Van.

Memberi arahan pada langkah Banyu yang berada beberapa meter di depanku, membuatku melamun. Teringat perkataan Yogamaya tentang perjalanan yang mungkin akan membuka bab lama yang tak pernah benar-benar aku mulai.

***

"Aku bukannya nggak suka kamu sama Banyu, Ngga ...."

"Kenapa? Bukannya kamu sendiri yang menyarankan Banyu untuk bantu lepas cincin kawinku? Yang menurutmu bisa bantu aku move on dari Van dan rasa bersalahku?" Aku tertawa tipis di ujung kalimatku. Wajah Yogamaya yang tampak kedapatan itu membuatku geli. Geli untuk ia yang selalu gagal pura-pura tak peduli, juga geli pada ketidakmampuannya mengarahkan pilihanku sampai harus minta pertolongan Banyu.

"Banyu sendiri yang cerita, kamu bertingkah macam bapak-bapak yang nggak suka anak gadisnya dipegang-pegang sama orang lain. Kenapa? Aku tanya ...."

Dots on Paraline [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang