[Pujangga] Menemukan

612 168 40
                                    

Waktu aku datang, Sean sudah mematikan laptopnya. Kabel charger laptop, handphone, headset, masih berserakan di atas meja, bertumpukan dan kusut diantara modul-modul dan bendelan fotocopy yang mulai lecek.

Tidak. Jauh lebih lecek wajahnya. Sean duduk bersandar melorot di sofa Net Cafe dan menatapku dengan mata yang cekung dan menghitam. Tak ada senyum atau gairah sama sekali. Aku tahu hatinya sedang kacau ketika mendapati rambut unicorn-nya lenyap entah kemana. Berganti kepala plontos, memperlihatkan kulit kepalanya yang terang.

"Kamu potong rambut?" Aku mendekat dan mengusap-usap rambut barunya.

Sean mengangguk malas. "Mas bawa mobil? Aku ngantuk banget."

"Bawa mobil tante. Ayo pulang, berapa hari kamu lembur disini? Udah selesai tugasnya?" tanyaku sambil membantunya membereskan barang-barangnya di meja.

Sean manyun. Merapikan tugas-tugas kuliahnya ke dalam backpack kuning motif pisangnya. Menjawab pertanyaanku dengan gerutuan tak terdeteksi telinga. Aku cuma bisa tersenyum saja.

Bukan sekali dua kali aku melihatnya begini. Seperti yang sudah-sudah, aku yakin dia sedang patah hati.

"Siapa yang bikin kamu kaya gini?"

Sean menarik risleting tasnya cepat. Lalu merogoh saku hoodie-nya, mengambil ponsel dan membuka aplikasi tertentu. Sambil berlalu, dia menyerahkannya padaku.

Di satu chat room Instagram, aku membaca sebuah pesan dari sebuah akun bernama 

"Hai, Sean. Maaf baru buka dm."

"Tadi aku ketemu temanmu Sandar, lagi cari kamu. Kamu lagi dimana sekarang?"

"Ayo kita ketemu."

Aku tersenyum melihat pesannya. Lalu otomatis membuka profilnya dan terkikik lagi membaca bio-nya. Berbunyi, "Sudah tidak gondrong, tapi masih ganteng."

Aku jadi membayangkan laki-laki bertopi dengan brewok tipis itu ketika masih gondrong.

"Oh, he's got a nice smile," komentarku ketika mengembalikan handphone Sean, sesampainya kami di kabin mobil.

"I know, right?" Sean menyahut malas-malasan.

"Udah diajak ketemuan, tuh. Nggak ditanggepin?"

"Males, ah!" sungutnya sebal, menyaingi deru mesin mobil yang kunyalakan.

Aku mengeluarkan mobil dari parkiran. Memberikan selembar uang dua ribu kepada petugas parkir dan melajukan mobil santai, menyusuri Jalan Kalirang yang mulai lengang.

"Bukannya kamu nyari-nyari dia kemarin?"

"Haaah... Udah kaya orang gila aku, Mas." Sean mengakui. Batinku, kapan kamu tidak gila ketika jatuh cinta?

"Terus kenapa sekarang tiba-tiba jadi nggak mood gitu?"

"Ya Mas Angga lihat, lah!" Sean membuka profil Gentamas tadi, dan men-scroll-nya di hadapanku. Aku cuma bisa melirik sambil terus menyetir. "Satu! Fotonya sama cewek ini terus, mas. Kayaknya dia udah punya pacar. Mana komen-komennya akrab mesra banget, lagi!"

"Hmm... Bisa jadi..."

"Dua, kalaupun bukan, aku tetep kesel, Mas! Yang susah-susah nyari aku, yang ketemu duluan malah Sandar! Huh!"

Aku tertawa. 

"Ya memang kenapa, sih? Sandar kan khawatir kamu hilang. Katanya belakangan kamu lagi cari si Gentamas ini. Dia kebetulan ketemu dan nyari kamu sampai ke Lippo, lho! Mas ini antar Sandar nyari kamu disana, padahal ada kerja lembur di proyeknya."

Dots on Paraline [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang