Banyubiru (23)
Hari itu MJ seperti orang yang paling--
bagaimana aku menyebutnya... peka? perhatian? sensitif? tahu diri?
Aku bahkan sulit menemukan kata yang tepat. MJ muncul saja seperti keajaiban... Tiba-tiba saja... memergokiku termenung di bangku panjang depan loket kantor rektorat yang mulai sepi. Terdiam tanpa tahu harus bagaimana setelah menyelesaikan administrasi wisuda dua minggu setelah hari itu.
MJ datang.... dan tanpa bicara langsung merangkulku simpatik... Padahal aku hanya mengabari kalau aku mau mengurus administrasi wisudaku akhir bulan ini.
"Banyu..." guncangnya setelah lama aku membiarkannya seperti itu.
Aku masih tidak tahu harus apa dan bagaimana dengan benda di genggamanku.
Undangan untuk wali wisuda. Dua orang. Untuk ayah dan ibu...
Biasanya seperti itu.
Aku menegakkan tubuhku sampai MJ melepas rangkulannya. Duduk tegak di hadapanku dengan wajah cemas.
Aku membalas tatapannya dengan senyum yang biasanya. Kusodorkan undangan itu kepadanya, "Datang, ya... Lo sama Ravi..."
"Ih, nggak mau!"
Elakkannya membuatku terdiam. Senyumku berubah kaku, meskipun aku tak mau. Tenggorokanku tercekat melihat MJ yang menautkan alisnya.
Melihat reaksiku, MJ menunduk sedih. Aku bahkan tidak tahu kenapa malah dia yang lebih muram.
Atau cuma perasaanku saja? Atau sebenarnya aku memang tampak mengenaskan sekali sampai MJ menatapku seperti itu?
"Mereka nggak akan datang, Je..."
"Coba dikirim ke rumah..."
"Gue nggak berani," jawabku segera. AKu harap itu menjawab semua. Mengatakannya saja sudah sangat melelahkan.
"Lo kan akhirnya bisa lulus, Nyu. Orang tua lo pasti seneng! Beliau-beliau pasti dateng!"
"Gue nggak berani!" seruku cepat, lebih terdengar seperti rengekan agar MJ berhenti membujuk. Agar MJ berhenti membuatku terdengar makin menyedihkan. Teriakan serupa, "Hey! Kamu tahu semuanya! Alasannya! Jadi, cukup!"
Aku hanya ingin hari wisuda itu lewat begitu saja sama seperti dua tahun terakhir. Sama seperti hari-hari yang sudah lewat, dimana aku menganggap semua baik-baik saja setelah penolakan mereka atasku. Mereka, keluargaku.
Disisihkan nyatanya jauh lebih sakit daripada penolakan terbuka. Setelah kedua orang tuaku tahu keadaanku, bahwa aku tidak bisa memberi mereka keluarga sebagaimana yang mereka harapkan, tak ada lagi Banyubiru dalam keluarga mereka.
Keterasingan nyatanya jauh lebih perih daripada pengusiran terang-terangan. Aku tak pernah lagi menjadi seorang anak yang pulang ke rumah mengadu lelah. Aku sepenuhnya bebas di atas dua kakiku. Dilepas tanpa mereka peduli dimana sarangku.
Begitu saja.
...
Dan aku sudah berdamai dengan itu selama nyaris dua tahun.
Aku adalah orang yang bebas. Apa yang lebih membahagiakan dari itu?
Tidak akan ada yang memprotes tindakanku, segala keputusanku, semua yang melekat padaku, aku. Aku.
Tidak akan ada.
Tapi...
"Oke..." MJ menarik undangan yang kuremas kuat sampai terlipat. Ditariknya lembaran berwarna biru itu dari sampulnya. Dibacanya tulisan yang sudah belasan kali kulihat sampai aku bisa menghafalnya di luar kepala.
Tanggal. Peraturan masuk gedung yang hanya untuk dua orang. Nomor tempat duduk... AKu bahkan sudah mengeceknya di denah ruangan. Dimana nomor tempat duduk itu dalam deretan bangku tamu undangan. Aku sudah menskenariokannya dengan jelas di kepalaku. Dimana dua orang itu akan duduk untukku, bagaimana aku bisa melihat mereka dari bangkuku, bagaimana aku bisa melempar senyum pada mereka setelah Rektor meluluskanku dengan predikat Cum Laude.
Semuanya.
Tapi tetap saja...
Begitu kulihat undangan itu ada di tangan MJ, meski aku sendiri yang memberikannya, tak sedikit pun bayangan MJ dan Ravi cocok dengan imajinasiku.
Sadar tak sadar bukan mereka yang aku inginkan hadir.
Diam-diam, aku merindukan mereka.
...
***
Dan sepertinya MJ tahu. Pagi hari, dua minggu setelah itu... ketika aku baru saja kegirangan karena MJ dan Ravi membelikan setelan baru untukku wisuda, MJ mengatakan semuanya.
"Undangannya gue pos ke rumah lo..."
AKu tidak bisa lebih marah dari diam.
"Maaf, Nyu... Gue sama Ravi cuma pengen orang tua lo tahu kalo lo hari ini wisuda..."
"Sukur-sukur mereka mau dateng, Bro... You can start all over again."
Kamu tidak tahu siapa ayahku, Rav. Kamu tidak kenal siapa ibuku, MJ. Kalian tidak pernah terlahir sebagai anak mereka yang begini. Yang menghadapi perubahan tatap mata mereka. Kalian tidak tahu.
Marahku berkabut, bercampur keinginan teramat sangat agar mereka menolongku. Tidak ada orang lain yang tetap bertahan di sampingku selain mereka berdua.
Dan itu benar terjadi.
Saat aku menutup pagi itu dengan kalimat, "Let's see," tak ada sesuatu pun yang bisa dilihat hari itu. Di bangku itu. Di tempat dimana wali wisudaku semestinya duduk.
Tidak ayahku.
Tidak ibuku.
Tidak MJ maupun Ravi.
Kosong, sama seperti hentakan sepatuku yang kumau sombong. Kebanggaanku tak mendarat pada seorang pun.
Dan maka hari itu kuputuskan untuk benar-benar tak pernah pulang.
Aku adalah orang yang bebas. Apa yang lebih membahagiakan dari itu?
Tidak akan ada yang memprotes tindakanku, segala keputusanku, semua yang melekat padaku, aku. Aku.
Tidak akan ada.
Dan aku bahagia akan hal itu. Juga MJ dan Ravi.
Mereka berdua menyambutku di muka gedung, bahkan saat langkahku belum benar-benar keluar. MJ menghambur memelukku. Buket bunga raksasa yang aku tahu dia merangkainya sendiri terjepit diantara kami. Dia menangis tersedu-sedu dengan suara cempreng dan basah, mengotori kemeja biru pemberian mereka. Ravi memeluk kami nyaris seperti Baymax. Tertawa-tawa dan berulangkali mengucapkan selamat.
"Selamat, Bacheloooor!"
"Bachelor artinya bujangan, brengsek. Lo juga sama aja! Hahahaha!"
"Lah iya kan kita sama Jonaas Brothers hahahaha!"
"Iiih! Gue nggak ikut brother-brotheran, gue kan sistaaa! Eeh! Gue kejepiiit!"
"Bodo amaaat!" Aku dan Ravi makin mengeratkan pelukan. Melonjak-lonjak. MJ makin terhimpit tapi kami bertiga tak berhenti tertawa.
...
Saat aku bertanya pada diriku sendiri, "Apa aku baik-baik saja?"
Aku akan menjawab, "Iya. Tentu. Bagaimana tidak."
Lihatlah dua orang di sisiku. Mereka tidak cukup sempurna untuk menutupi kerinduan itu. Tapi aku tahu kemana akan pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romance"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...