"Cuti kamu panjang, ya..." laki-laki yang muncul dari balik mesin kopi itu menyindirku dalam senyum, "liburannya lama banget."
Bunyi 'tuk' samar yang timbul antara cangkir dan permukaan meja kayu itu ditingkahi kepulan uap kopi. Yogamaya, lelaki berambut gondrong itu, menyajikannya padaku setelah memastikan banyak hal: apa aku betulan boleh minum kopi, kapan terakhir kali aku minum obatku, apa aku akan bayar kali ini atau tidak. Tentu yang terakhir itu candaan.
Aku menghabiskan tiga mingguku disini nyaris setiap hari. Tentu saja aku membayar kopi yang kuminum, meski awalnya Yogamaya menolaknya. Aku tak sekejam itu.
"Aku kan yang punya hotel, suka-suka kapan aku masuk atau bolos."
"Wow," laki-laki yang akrab dipanggil Mas Yoya oleh pelanggannya itu terkejut mendengar kalimatku, "belajar darimana kamu bisa nyombong yang ada benernya gitu?"
Aku tersenyum simpul, "Seseorang."
Pemilik kedai kopi Kenang Maya itu menatapku dengan sorot mata selidik, seolah memastikan kalau yang kumaksud adalah sosok yang dicurigainya. Aku hanya menggendikkan bahu enggan membahas. Setelah itu Yoya kembali ke dapurnya. Ia ingat roti panggang sarikaya pesananku, seharusnya sudah jadi.
Aku mengedarkan pandanganku ke penjuru kedai. Pagi pukul sepuluh seperti ini, hanya ada satu dua ojol yang mampir kemari. Selebihnya kosong. Selama tiga minggu 'pindah kantor' kemari, hanya ada aku yang jadi pelanggan Yoya. Kedai Yoya mulai ramai selepas jam lima sore hingga dini hari. Mungkin karena suasananya yang hangat dan santai.
Aku memeriksa emailku. Barusan tadi Hendra, asistenku, mengabari kalau ia baru saja mengirim scan dokumen dari UKon. Mereka meminta approvalku untuk memproses penagihan pelunasan pekerjaan renovasi di hotel kami.
Ah... Ya... Banyubiru semalam mengabariku lewat WhatsApp. Ternyata renovasinya sudah selesai, ya...
Sambil mendownload dokumen, kusesap Vietnam Drip yang terhidang di mejaku. Pikiranku menolak melayang pada sosok yang menyusun dokumen itu untukku. Aku belum ingin menghadapinya, tapi di sisi lain aku ingin segera bertemu dengannya.
Yogamaya muncul dengan sepiring roti panggang sarikaya dan segelas kopi tubruk, lalu duduk di hadapanku. Tanpa banyak mengusikku yang sedang bekerja, ia menyalakan rokok kretek dan mulai duduk santai.
Kedai sudah bersih, sedang sepi pula. Yoya yang santai memilih duduk di dekatku untuk mengobrol ketimbang mendengarkan dua karyawannya di dapur yang asik bergosip ahjussi-ahjussi Korea.
"Tantra kapan balik kesini?" aku membuka percakapan sambil mengambil agendaku dari tas. Sepertinya aku perlu membuat catatan kecil untuk laporan yang dikirim Hendra.
Yoya menghembuskan asap rokok jauh-jauh dariku, "Nanti sore."
"Oh..."
"Kenapa?" jari Yoya menarik asbak, mengetukkan sisa abu di ujung rokoknya kesana, "kamu mau kontrol?"
"Aku sudah kontrol tiap hari dengan ketemu kamu, Pak."
Yoya tertawa mencibir, "Tapi kamu nurutnya sama Tantra, bukan sama aku. Sudah kubilang, nggak usah minum obat..."
Aku menggeleng-geleng dan tertawa. "Ada-ada aja..."
"Kamu kan nggak sakit, Ya."
"Well..." aku tak tahu harus merespons apa. Fokusku masih pada laporan progress dan dokumen penawaran yang dulu pernah kuterima. Aku meneliti satu per satu item yang ada di penawaran dan yang tercatat di dalam laporan, memastikan tak ada pekerjaan yang belum diselesaikan.
"Kamu kan tahu, itu bukan halusinasi..."
Aku ingin menjawab, tapi jawaban itu hanya jadi gatal di tenggorokan. Aku berdehem terpaksa, dan Yoya hanya mengerling santai.
Beberapa menit selanjutnya, Yoya memilih diam. Asik menghabiskan kopi tubruknya sebelum dingin. Aku juga menyelesaikan koreksiku. Setelah menyampaikan hasilnya pada Hendra, aku meraih ponselku. Mendapati seseorang mengirimiku gambar.
Gambar tamagochi, dengan pesan pendek, "Kobam sudah besar. He's waiting for his daddy to come back. LOL."
Aku tersenyum. Yoya melihatnya dan ikut tersenyum.
"Dia lagi?"
"Iya. Kirim laporan, anakku sudah besar. Lihat?"
Yoya tertawa sambil geleng-geleng kepala. Ingin mengejek, tapi mungkin tak tega karena wajahku begitu bangga.
"Kasihan dia pasti kebingungan."
Iya. Aku juga merasa begitu.
Kupikir dia tidak akan penasaran seiring berjalannya waktu. Kupikir dia akan menganggapku angin lalu. Tapi ternyata tidak. Sampai hari ini ia terus mengirimiku foto dan pesan semacam itu. Tak bertanya apa-apa, karena tahu aku tak akan menjawab. Tapi ia tak berhenti.
"Aku bingung bagaimana cara menjelaskannya. Dia pasti bakal nganggap aku gila kalau aku bilang dia itu separuh jiwaku, sejak kehidupan sebelumnya."
"Tenang, kita bakal gila bertiga. Aku, kamu, Tantra."
***
Anggaplah Yogamaya adalah salah satu halusinasiku. Akan mudah bagimu menerimanya sebagai tokoh tak nyata, karena apa yang kau dengar setelah ini akan terasa seperti karangan fantasi belaka.
Yogamaya adalah laki-laki yang bermain judi dengan Tuhan di kehidupannya.
Ralat, di kehidupan-kehidupannya. Jamak.
Sampai disini sudah cukup membuatku terdengar gila?
Baiklah... Yogamaya di kehidupan ini adalah satu nyawa yang lahir dan bernapas sebagaimana orang biasanya. Lahir sebagai lelaki, tiga tahun lebih tua dariku, tak menyelesaikan kuliahnya untuk belajar kopi, membuka kedai, dan jadi pendengar untuk banyak orang.
Itu Yogamaya yang kukenal.
Tapi di garis lain, ada Yogamaya lainnya. Di lapisan lain. Di rentang paralel lain. Di kehidupan sebelumnya, atau yang lainnya.
Di setiap kehidupannya, ia selalu menjadi penjudi. Bukan, bukan penjudi yang bertaruh untuk mendapatkan uang. Tapi berjudi untuk menyelesaikan misi hidupnya.
Salah satu ajang judi tanpa akhirnya dengan Tuhan adalah Jaka Witantra.
Di salah satu kehidupan Yoya yang paling hilir, Tantra pernah menjadi sosok yang ingin dimilikinya. Yoya mempertaruhkan banyak hal untuk memenuhinya. Keluarganya, hidupnya, nyawanya... Tapi misi kecil itu tak kunjung membuat keduanya bersatu.
Satu kematian terlewat. Kehidupan lain meletup di semesta dengan hutang berulang. Gagal. Hidup. Gagal. Lahir. Terlewat. Hidup. Melupakan. Hidup. Gagal. Dan kini Yogamaya terlahir kembali untuk menjemput Tantra.
Indah? Tidak juga.
Melelahkan? Iya. Tapi itu sebanding dengan perjudian panjang yang dilakukannya dengan Tuhan. Saat itu, Yoya berjanji untuk tak pernah membuat janji lagi dengan siapapun. Karena baginya, janji bisa menjadi hutang sepanjang masa, melewati usia dan kehidupan, melampaui kemampuan mengingat dan terlupa.
Yogamaya dan Tantra adalah orang-orang tajam yang bisa melihat kejadian rahasia dibalik nasib yang bertumpukan pada kehidupan seseorang. Mereka banyak mendengar kehidupan orang lain untuk menolong, menebus berkah mereka berdua.
Salah satu yang ditolongnya adalah aku.
***
"Tantra belum bisa yakin dia twin flamemu. Mungkin kalian hanya dua orang yang punya hutang masa lalu..."
Yah... Apapun itu, siapapun dia... Terlalu sulit untuk menjelaskannya pada Banyubiru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dots on Paraline [TAMAT]
Romance"Bayangkan kau adalah sebuah titik. Yang melaju dan bergerak dalam satu garis lurus. Setiap kali pilihan terjadi; garis bercabang, engkau membelah. Lantas melaju. Setiap satu pertemuan, garis merapat, titik bersinggung. Kau adalah titik. Pun aku. Tu...