[Sandar] Mengingat Ulang

565 150 22
                                    

"Oh, iya, aku juga belom ngopi. Ngopi dulu, yuk."

Aku harap dia tidak melihat tanganku yang gemetaran.

Entah karena lampu SuperMart yang terang benderang, atau rasa was-was karena hilangnya Sean sudah usai, aku baru bisa mengeja senyuman laki-laki ini.

Banyubiru. Aku masih ingat bagaimana dengan bodohnya aku meneriakkan namanya dan menghentikan laju motornya membelah malam di perempatan gang. Mengoceh panik tentang Sean, lalu dengan tanpa pikir panjang menerima bantuannya mencari Sean.

Beberapa waktu sebelumnya, aku tidak merasa begini. Tidak memperhatikan bagaimana senyum simetrisnya itu bisa membentuk kerutan samar di sisi tulang pipinya.

Seperti kerutan senyum seseorang.

***

Pradipta namanya. Ketua ekskul musik yang membuat Sean gila. Mungkin kegagalan cinta pertamanya saat itu yang membuatnya kini beringas tiap kali jatuh cinta.

Sama seperti cinta pertama pada umumnya, perasaan Sean pada Dipta adalah perasaan yang tolol, malu-malu, dipendam-pendam, tapi mencuat dengan memalukannya. Dipta membuat Sean rela menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak begitu ia mengerti.

Dibandingkan memainkan game kesukaannya, ia menghabiskan waktu untuk menyambangi ruang ekskul kami di basement sekolah. Seperti pecundang, membersihkan ini-itu, mengangkut peralatan-peralatan, menyiapkan makanan-minuman...

Aku sedih sekaligus malu melihatnya. Gemas, daripada dia melakukan hal-hal tak penting dan dimanfaatkan oleh anak ekskul lain, kenapa dia tidak menyatakannya langsung saja pada Dipta? Bodoh.

Tapi seharusnya aku tidak perlu sepeduli itu tentang kisah mereka. Andai aku tak menaruh banyak perhatian untuk mereka, tentu aku tidak terjebak pada perasaan yang membuat pertemananku dan Sean kacau

***

"Hmm... Sudah malam, Mas. Lagipula masnya kan mau balik kerja lagi, nanti saya malah ganggu."

"Oh, enggak kok. Barusan aku udah cek yang harus dikerjakan malam ini. Udah ada Site Managernya juga."

Gerakan kecilnya menoleh ke belakang, menunjuk area dimana teman-temannya bekerja, meskipun hanya sekilas tapi cukup membuat napasku terhenti.

Profil wajahnya dari samping mengingatkanku pada seseorang.

"Gimana, dek?"

Ia sedikit memiringkan kepalanya. Merundukkan tubuhnya berusaha menghadang tatapanku yang jatuh ke lantai. Tapi gerakan itu justru membuat dinding ingatanku roboh.

Pradipta?!

Aku tersentak. Mundur satu hingga dua langkah dengan ekspresi yang aku tahu membuatnya juga terkaget-kaget.

Aku teringat gerakan kecil itu, saat dia memiringkan wajahnya dan gulita selanjutnya membuatku terhanyut ke lubang dimana aku tidak bisa menyelamatkan diri.

"Sandar? Hey... Kamu kenapa?"

"Eh... Ng... Nggak papa, mas."

"Kamu sakit?"

"Nggak... Nggak!"

***

Bahkan ketika aku masih SMA, menyatakan perasaan lewat surat itu sudah minta ampun ketinggalan jamannya. Tapi itulah yang Sean lakukan. Menulis surat pendek untuk Pradipta, dan menitipkannya padaku. Andai Sean tidak memohon-mohon mana mau aku datang ke studio hari itu.

Dipta sendirian di studio. Aku bisa mendengar permainan saxophone-nya dari luar studio yang seharusnya kedap suara, menyelinap dari pintu yang kuncinya rusak.

Dots on Paraline [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang